ILMU AL-NASIKH WA AL-MANSUKH

 

ILMU AL-NASIKH WA AL-MANSUKH

 

  1. A.    Pengertian

Naskh menururt bahasa mempunyai dua makna, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan menurut istilah adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh penetap syariat terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian.”

Ilmu Nasikh wa Mansukh hadits adalah ilmu pengetahuan  yang membahas tentang hadits yang datang kemudian sebagai penghapus terhadap ketentuan  hukum yang berlawanan dengan kandungan hadits yang datang lebih dahulu.

Para muhadditsin memberikan ta’rif ilmu itu secara lengkap ialah:

هوالعلم ااذ ي يبحث عن الاحاديث المتعارضة التلى لايمكن التو فيق بينها من حيث الحكم على بعضها باء نه ناسخ, وعلى بعضهاالاخر بانه منسوخ, فما ثبت تقد مه كان منسوخا وما تاخره كان ناسخا.

”Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagianya, karena ia sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh  dan hadis terakhir adalah  sebagai nasikh.”[1]

 

  1. B.     Urgensi

Banyaknya redaksi hadis yang kontradiktif yang sulit dipahami maksudnya.

  1. C.    Fungsi

Memahami kandungan hadis nabi.

  1. D.    Obyek

Redaksi hadis yang kontradiktif yang selevel kemaqbulanya.

  1. E.     Metode

Ada dua metode yang dapat digunaka yaitu

  1. Komparasi bir riwayah
  • Penjelasan Rasul dari hadis tersebut/teks hadis lain.
  • Penjelasan dari sahabat/rawi dari kitab syarah.
  • Lafadz hadis yang menunjukkan waktu ex. Ibtida’; qabliyah; ba’diyyah.
  1. Komparasi data historis.[2]

 

  1. F.     Cara Mengetahui Nasikh wa Mansukh Hadis

 

a)      Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعْرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ ثَلَاثٍ وَأَنَا آمُرُكُمْ بِهِنَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ الْأَشْرِبَةِ أَنْ تَشْرَبُوا إِلَّا فِي ظُرُوفِ الْأَدَمِ فَاشْرَبُوا فِي كُلِّ وِعَاءٍ غَيْرَ أَنْ لَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ أَنْ تَأْكُلُوهَا بَعْدَ ثَلَاثٍ فَكُلُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِهَا فِي أَسْفَارِكُمْ

(ABUDAUD – 3212) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Mu’arrif bin Washilah dari Muharib bin Ditsar dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku larang kalian dari tiga hal dan aku perintahkan kalian tiga hal tersebut. Aku telah melarang kalian dari ziarah kubur, sekarang lakukanlah karena di dalamnya terdapat peringatan. Aku telah melarang kalian dari meminum beberapa minuman kecuali jika minuman tersebut berada dalam geriba kulit. Minumlah dari segala bejana, tetapi jangan kalian minum sesuatu yang memabukkan. Dan aku telah melarang kalian dari memakan daging kurban setelah tiga hari, sekarang makan dan nikmatilah dalam perjalanan kalian!”

Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur adalah haram, kemudian memperbolehkan, bahkan dalam riwayat lain nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian.

b)      Media kedua adalah perkataan dan penjelasan dari sahabat,contoh

أخبرنا إسحاق إبراهيم قال أنبأنا إسماعيل وعبد الرزاق قالا حدثنا معمر عن الزهري عن عمر بن عبد العزيز عن إبراهيم بن عبد الله بن قارظ عن أبي هريرةقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول توضئوا مما مست النار

Hadis diatas mansukh berdasarkan hadis yang juga diriwayatkan al Nasa’i :

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار

Kedua redaksi hadith  menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal: dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan. Yang  pertama menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan ritual salat, sedang hadis yang kedua menerangkan diperbolehkan salat setelah memakan makanan yang disentuh  api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan diri sebagai Nasikh, sedang hadis pertama mansukh.

Cara yang kedua ini menurut ppara ahli ushul harus diwajibkan adanya penjelasan bahwa dalam kronologisnya hadis yang kedua datang setelah hadis yang pertama.

c)      Fakta sejarah, seperti hadits yang terdapat dalam kitabnya Imam Tirmidzi :

حدثنا محمد بن رافع النيسابوري ومحمود بن غيلان ويحيى بن موسى قالوا اخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن ابي كثير عن ابراهيم بن عبد الله بن قارظ عن السائب بن يزيد عن رافع بن خديج عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “افطر الحاجم والمحجوم”

Hadits diatas dimansukh oleh hadits berikut yang juga diriwayatkan Imam Tirmidzi :

حدثنا بشر بن هلال البصري حدثنا عبد الوارث بن سعيد حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم صائم

Kedua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits  pertama berisi batalnya puasa antara orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak membatalkan puasa.

Hadits tentang batalnya puasa antara orang yang berbekam maupun orang yang membekam juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari jalur  Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah)  pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyahmaka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.

d)     Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :

حدثنا ‏ ‏نصر بن عاصم الأنطاكي ‏ ‏حدثنا ‏ ‏يزيد بن هارون الواسطي ‏ ‏حدثنا ‏ ‏ابن أبي ذئب ‏ ‏عن ‏ ‏الحارث بن عبد الرحمن ‏ ‏عن ‏ ‏أبي سلمة ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏ ‏قال ‏ قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إذا سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه ‏ ,قال ‏ ‏أبو داود ‏ ‏وكذا حديث ‏ ‏عمر بن أبي سلمة ‏ ‏عن ‏ ‏أبيه ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه ‏ ‏قال ‏ ‏أبو داود ‏ ‏وكذا حديث ‏ ‏سهيل ‏ ‏عن ‏ ‏أبي صالح ‏ ‏عن ‏ ‏أبي هريرة ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إنشربوا الرابعة فاقتلوهم ‏ ‏وكذا حديث ‏ ‏ابن أبي نعم ‏ ‏عن ‏ ‏ابن عمر ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وكذا حديث ‏ ‏عبد الله بن عمرو ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏والشريد ‏ ‏عن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏وفي حديث ‏ ‏الجدلي ‏ ‏عن ‏ ‏معاوية ‏ ‏أن النبي ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال ‏ ‏فإن عاد في الثالثة أو الرابعة فاقتلوه ‏

”Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.

Umar ibnul Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr , berdasarkan musyawarah para sahabat, salah satunya yaitu sahabat Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.

Imam Nawawi mengatakan: ”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”.

Jika keempat hal ini tidak ditemukan ketika terdapat suatu hadis yang kontradiksi maka menurut al Hazimi hal yang dilakukan adalah mentarjih hadis tersebut.[3]

 

  1. G.    Syarat-Syarat Nasakh

a)      Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah         berupa hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat ataudibatasi dengan waktu tertentu.

b)      Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat datangnya dari syari’ (Rasulullah saw).

c)      Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.

d)     Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.

Sedangkan ‘Abd ‘Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :

a)      Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.

b)      Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada ketetapan hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.

c)      Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.[4]

 

  1. H.    Kitab Rujukan

 

a)      An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.

b)      Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).

c)      Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan nomor 1587.

d)     Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).

e)      An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.[5]

 

 

 

Referensi

http://ats-tsiqah.blogspot.com/2011/11/ilmu-nasikh-wa-mansukh.html diakses

      30/04/2013.

Nurun Najwah, Hand Out Ulum Al-Hadis III

http://aam-ezaam.blogspot.com/2012/02/nasikh-mansukh.html diakses tanggal

      30/04/2013.

Lidwa pustaka i-software. http://www.lidwapustaka.com

TAKHRIJ HADIS DI PERPUSTAKAAN ( MANUAL )

TAKHRIJ HADIS DI PERPUSTAKAAN ( MANUAL )

  1. Pengertian Takhrij Al-Hadits.

Kata “Takhrij” adalah bentuk masdar dari kata kerja “خرّج, يخرّج, تخريجا”. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa : “menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah. Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti; “Menunjukkan letak Hadits dalam sumber – sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan hadits itu bila perlu. Menunjukkan letak Hadits suatu Hadits berarti menunjukkan sumber – sumber dalam Hadits itu diriwayatkan, misalnya pernyataan أخرجه البخاري في صحيحه (Al-Bukhori mengeluarkan Hadits dari kitab sahihnya).

  1. Lima metode takhrij hadis
    1. Takhrij berdasarkan huruf permulaan matan hadis
    2. Takhrij berdasarkan lafadh-lafadh hadis
    3. Takhrij berdasarkan periwayat pertama hadis
    4. Takhrij berdasarkan tema hadis
    5. Takhrij berdasarkan macam-macam hadis

Sedangkan penjelasan dari lima metode tersebut ialah bahwa takhrij berdasarkan huruf pertama hadis dapat dilakukan dengan mengetahui lafadh pertama hadis dan kemudian diurutkan hurufnya, lalu dicari di dalam kitab-kitab kamus yang memuat hadis berdasarkan  huruf pertama hadis.  Kitab-kitab tersebut disusun berdasarkan abjad.  Sedangkan beberapa kitab kamus yang dimaksud antara lain:

  1. Kitab al-Jami` al-Shaghir, al-Suyuthi
  2. Kitab Fath al-Kabir, al-Suyuthi
  3. Kitab Jam` al-Jawami`/al-Jami`   al-Kabir, al-Suyuthi
  4. Kitab al-Jami` al-Azhar, al-Manawi
  5. Kitab Hidayat al-Bari, al-Thahthawi
  6. Beberapa kitab dengan metode ijmal.

Namun harus diingat bahwa memakai metode ini terkadang akan terkecoh dan tidak akan mendapatkan keseluruhan hadis yang dimaksud.  Semua itu disebabkan oleh karena teks hadis (permulan hurufnya) tidak selalu sama dalam semua riwayat.  Ini dikarenakan adanya riwayat bi al-Makna, sehingga tidak semua hadis yang dimaksud bisa didapatkan.

Sementara itu tekhrij berdasarkan pada sebagian lafadh hadis, dapat dilakukan dengan mengambil salah satu lafdh lafadh yang ada di dalam hadis dimaksud.  Lafadh- lafadh tersebut bisa yang berupa isim maupun fi’il.  Namun harus diperhatikan bahwa dalam menggunakan metode ini lafadh yang berupa fi’il tersebut harus kita kembalikan dahulu kepada akar katanya atau mashdarnya terlebih dahulu, karena kitab kamus yang menjadi rujukan tersebut akan selalu meggunakan pedoman pada akar kata dari sebuah kata kerja atau fi’il.  Dan kitab kamus yang digunakan dalam metode ini ialah “al-Mu`jam al-Mufahharats li alfadhi al-Hadits al-Nabawi”, karya A. J. Wensinck.

Untuk lebih jelasnya, mari perhatikan contoh pencarian hadis di bawah ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة أن تؤخر صلاة حتى بدخل وقت أخرى

Berdasarkan penelusuran melalui kata tafri terdapat tiga model yang digunakan di dalamnya, sekaligus kitab rujukan yang memuat matan hadis yang dimaksud, antara lain:
ليس فى النوم تفريط- تفريط فى النوم – إنما التفريط فى اليقظة
د صلاة 1 1, ت: مواقت 6 1, ن: مواقت 3 5, جه: صلاة 0 1, حم: 5, 5 0 3
ليس فى النوم تفريط- إنما التفريط على من لم يصلى الصلاة حتى يجئ وقت الصلاة الأخرى
م: مساجد 1 1 3
لاتفريط فى النوم (إنما التفريط فى اليقظة)
د: صلاة 1 1, حم: 5, 8 9 2
Berdasarkan panduan al-Mu’jam tersebut penelusuran hadis dilakukan pada kitab-kitab hadis yang ditunjuk, dan kesemuanya dapat ditemukan meskipun penomoran tidak mesti sama dengan yang tertera dalam al-Mu’jam, kecuali untuk Musnad Ahmad yang sama persis dengan penomoran al-Mu’jam. Hal ini bisa terjadi karena kitab rujukan yang digunakan peneliti dengan kitab yang digunakan pengarang al-Mu’jam berbeda penerbit maupun tahun terbitan, sehingga menyebabkan pergeseran halaman atau bab yang tidak terlalu jauh.
Dari petunjuk di atas dapat dipahami bahwa matan hadis tersebut dapat dilacak dalam Sunan Abi Dawud bab “shalat”, Sunan al-Tirmizi bab “mawaqit”, Sunan ibn Majah bab “shalat”, Musnad Ahmad ibn Hanbal jilid 5 halaman 305 dan 298. Adapun redaksi lengkap dari matan hadis di atas dalam kitab-kitab aslinya adalah sebagai berikut:
1. Redaksi Abu Dawud melalui jalur sanad al-Abbas:
ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة أن تؤخر صلاة حتى يدخل وقت أخرى
2. Redaksi Abu Dawud melalui jalur Musa ibn Isma’il:
إنه لا تفريط فى النوم إنما التفريط فى اليقظة فإذاسها أحدكم عن صلاة فليصلها حين يذكرها ومن الغد للوقت
3. Redaksi Muslim:
أما إنه ليس فى النوم تفريط إنما التفريط على من لم يصل الصلاة حتى يجئ وقت الصلاة الأخري فمن فعل ذلك فليصلها حين ينتبه لها فإذا كان الغد فليصلها عند وقتها
4. Redaksi al-Tirmizi:
إنه ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة أو نام عنها فليصلها إذا ذكر
5. Redaksi al-Nasa’i dari jalur Qutaybah:
إنه ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة أو نام عنها فليصلها إذا ذكر
6. Redaksi al-Nasa’i dari jalur Suwaid:
إنه ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فيمن لم يصل الصلاة حتى يجئ وقت الصلاة الأخري حين ينتبه لها
7. Redaksi Ibn Majah:
ليس فى النوم تفريط إنما التفريط فى اليقظة فإذا نسي أحدكم صلاة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها ولوقتها من الغد
8. Redaksi Ahmad ibn Hanbal dari jalur Hasyim:
ليس التفريط فى النوم إنما التفريط فى اليقظة
9. Redaksi Ahmad dari jalur Yazid:
لاتفريط فى النوم إنما التفريط فى اليقظة فإذا كان ذلك فصلوها ومن الغد وقتها

 

Penggunaan Isim dan Fi’il dalam Al- Qur’an

BAB I

PENDAHULUAN

       Al-Qur’an adalah kitab sumber dasar hukum Islam, bukanlah kitab hukum islam. Oleh karena itu, untuk menemukan hukum yang terkandung di dalamnya, diperlukan adanya suatu penafsiran. Dalam menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa kaidah penafsiran, agar isi atau kandungan serta pesan-pesan al-Qur’an dapat ditangkap dan dipahami secara baik sesuai dengan tingkat kemampuan manusia.

Mayoritas ulama barpendapat bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an diperlukan kaidah-kaidah tertentu, terutama kaidah bahasa. Kaidah-kaidah penafsiran itu ada tiga macam yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i dan kaidah kebahasaan. Kaidah dasar ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadits nabi, pendapat sahabat, dan dengan pandapat tabi’in. Sedangkan kaidah syar’i ialah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad, diantaranya ialah: mantuq dan mafhum, mutlaq dan muqayyad, mujmal dan mufhassal dan lain-lain.

Sedangkan kaidah kebahasan ialah kaidah yang menjadi alternatif dalam menafsirkan al-Qur’an. Kaidah kebahasaan ini mencakup kaidah isim dan fi’il, amr dan nahy, istifham, dlamir, mufrad dan jamak, muzakkar  dan muannats, taqdim dan ta’khir dan lain-lain. Namun yang akan dibahas dalam tulisan ini hanya kaidah isim  dan fi’il.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Pengertian Isim dan Fi’il

Menurut ulama’ ahli nahwu pengertian isim yaitu kata yang menunjukkan makna atas dirinya sendiri yang tidak bersamaan dengan waktu. Sedangkan pengertian fi’il yaitu kata yang menunjukkan makna atas dirinya sendiri dan bersamaan dengan waktu, jika kata itu menunjukkan atas waktu lampau maka disebut fi’il madhi, dan jika kata itu menunjukkan atas waktu sekarang dan yang akan datang disebut fi’il mudhari, dan jika kata itu menunjukkan atas tuntutan sesuatu pada waktu yag akan datang disebut fi’il amar.

Menurt As-suyuti isim menunjukkan tetapnya keadaan beserta kelangsunganya, sedangkan fi’il menunjukkan timbulnya sesuatu yang baru dan terjadinya suatu perbuatan.[1] Isim juga disebut dengan  Jumlah ismiyah yang berarti menunjukkan arti subut (tetap) & istimrar (terus-menerus). Sedangkan fi’il disebut  jumlah fi’liyah yang  menunjukkan arti tajaddud (timbulnya sesuatu) & hudus (temporal). Tajaddud dalam fi’il madli berarti perbuatan itu timbul tenggelam, kadang ada kadang tidak. Sedangkan dalam fi’il mudlari’ berarti perbuatan itu terjadi berulang-ulang.[2]

Jika didalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menggunakan fi’il madli untuk peristiwa yang belum terjadi, ini berarti peristiwa itu pasti akan terjadi, tidak dapat ditawar. Contohnya adalah :

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

            Artinya: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman & bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit & bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf (7) : 96)

Jika peristiwa itu telah terjadi & yang dipakai adalah fi’il mudlari’, maka ini berarti peristiwa itu akan terus terjadi.

 

  1. B.     Contoh – Contoh Penggunaan Isim dan Fi’il dalam Al – Qur’an

Didalam Al–qur’an sering ditemukan kalimat–kalimat yang menggunakan bentuk isim dan fi’il. Masing–masing bentuk tersebut mempunyai makna yang berbeda–beda yang tidak bisa ditukarkan untuk mendapatkan makna yang sama.

  1. 1.      Cotoh ayat yang menggunakan isim :
    1. QS. Al – hujurat: 15

 

انماالمؤمنونالذينامنوابالله ورسوله ثم لم يرتابواوجاهدواباموالهم وانفسهم في سبيل الله اولئك همالصدقون.

         Artinya: “sesungguhnya orang–orang yang mukmin yang sebenarnya ialah mereka yang beriman kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka tidak ragu–ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang–orang yang benar”.

         Dalam ayat tersebut penggunaan isim di lafal mu’minun menunjukkan keadaan pelakunya yang senantiasa menjaga imanya secara berkesinambungan dan tidak hanya untuk sementara. Karena pada dasarnya iman itu bersifat kontemporer. Dan lafal mu’min digunakan untuk sebutan orang yang selalu diliputi rasa keimanan.

  1. QS. Al – kahfi : 18

وتحسبهم ايقاظاوهم رقود ونقلبهم ذات اليمين وذات الشمال وكلبهم باسطذراعيه بالوصيد لواطلعت عليهم لوليت منهم فراراولملئت منهم رعبا.

            Artinya: “Dan engkau mengira mereka itu tidak tidur, padahal mereka tidur, dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka membentangkan kedua lenganya di depan pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentu kamu akan berpaling melarikan diri dari mereka dan kamu akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka”.

             Dalam ayat ini penggunaan isim menunjukkan keadaan anjing ashabul kahfi ketika tidur di dalam gua. Anjing itu dalam keadaan merentangkan kaki ketika tidur. Penggunaan isim menunjukkan tetapnya keadaan anjing sepanjang dia tidur.

  1. QS. Al- baqarah: 177

ليس البر ان تولواوجوهكم قبل المشرق والمغرب ولكن البر من امن بالله واليومالاخروالملئكة والكتب والنبين واتىالمال على حبه ذوىالقربى واليتمي ولامسكين وبن السبيل والسائلين وفي الرقاب واقام الصلوة واتىالزكوة والموفون بعهدهم اذاعاهدواوالصبرين فيالبأساءوالضراءوحين البأساولئك الذين صدقواواولئك هم المتقون.

Artinya: “ kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat–malaikat, kitab–kitab, dan nabi–nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang–orang miskin, orang–orang yang dalam perjalanan ( musafir ), peminta–minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang–orang yang menepati janji bila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang–orang yang benar, dan mereka itulah orang–orang yanng bertakwa”.

Penggunaan isim dalam ayat ini untuk menunjukkan kelangsungan sifat–sifat sabar, memenuhi janji, dan takwa yang ada pada pelakunya.[3]

  1. 2.                  Contoh ayat yang menggunakan fi’il
  2. QS. Al- baqarah: 274

الذين ينفقون اموالهم با ليل والنهارسراوعلانية فلهم اجرهم عندربهم ولاخوف عليهم ولاهم يحزنون.

 

Artinya: “  mereka yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi–sembunyi maupun terang–terangan, mereka mendapat pahala disisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereeka dan mereka tidak bersedih hati.”

Kata yunfiqun pada ayat di atas menunjukkan sesuatu yang bersifat temporal, artinya hal tersebut bisa ada dan bisa juga tidak ada. Ketika seseorang mengerjakan pekerjaan itu ia mendapat pahala dan ketika dia meninggalkanya maka dia tidak mendapatkan pahala.

  1. QS. Asy-syu’ara: 78-82

 

الذين خلقني فهو يهدين; والذي هويطعمني ويسقين ;واذامرضت فهو يشفين ;والذي يميتني ثم يحيين ;والذي اطمعوانيغفرليخطيئتي يومالدين.

         Artinya: “ (yaitu) yang telah menciptakan aku, maka dia yang memberi petunjuk kepada ku; dan yang memberi makan dan minum kepadaku; dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku; dan Dia yang mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali); dan yang sangat ku inginkan akan mengampuni keesalahanku di hari kiamat.”

           Kata khalaqa pada ayat diatas menunjukkan penciptaan yang telah selesai dan terjadi pada waktu yang lampau, sedangkan kata yahdi dan lain–lainya dalam rangkaian ayat tersebut menunjukkan terus berlangsungnya perbuatan tersebut berangsur–angsur hingga sekarang.

  1. QS. Fatir : 3

يايهاالناس اذكروانعمت الله عليكم هل من خالق غيرالله يرزقكم من السماءوالارضل لااله الاهو فانى تؤفكون.

             Artinya: “ wahai manusia! ingatlah akan nikmat Allah padamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan elain Dia, maka mengapa kamu berpaling dari ketauhidan?”

             Kata kholiq dalam ayat di atas menunjukkan sifat yang permanen pada pelakunya sedangkan lafal yarzuqukum menunjukkan pemberian rizki secara bertahap.

  1. QS. An – nahl: 98

فاذاقرأت القران فاستعذبالله من الشيطن الرجيم.

                Artinya: “maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca al-qur’an mohonlah perlindungan pada Allah dari syaitan yang terkutuk.”

                Makna ayat ini menyuruh untuk beristi’adzah (meminta perlindungan) sebelum membaca Al- qur’an bukan sesudah membaca Al- qur’an karena lafal qara’ta menunjukkan bentuk fi’il madhi yang tidak menunjukkan waktu lampau melainkan waktu yang akan datang karena didahului oleh daraf zaman.[4]

  1. QS. Al-maidah: 6

يايهالذين امنو اذا قمتم الى الصلوة فاغسلووجوهكم وايديكم الى المرافق

Artinya: “ hai orang – orang yang beriman! Apabila kamu hendak shalat maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai kesiku…..”

Lafad qumtum dalam ayat ini juga menunjukkan fi’il madhi yang bukan lampau melainkan waktu yang akan datang. Makna ayat ini menyuruh kita untuk berwudu sebelum shalat bukan sesudah shalat. [5]

  1. C.    Tujuan Penggunaan Isim dan Fi’il dalam Al- Qur’an
  2. Penggunaan isim menunjukkan sesuatu yang tetap dan tidak berubah – ubah, contoh QS al kahfi :18.
  3. Penggunaan isim menuujukkan janji surga atau balasan yang sangat tinggi, contoh QS. Al – hijr :15.
  4. Penggunaan fi’il menunjukkan tindakan yang bersifat temporal, contoh QS.al – baqarah: 274.
  5. Penggunaan fi’il menunjukkan pekerjaan yang berulang – ulang dan berkesinambungan, contoh QS. Fatir:3.[6]

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

 

Pengertian isim yaitu kata yang menunjukkan makna atas dirinya sendiri yang tidak bersamaan dengan waktu. Sedangkan pengertian fi’il yaitu kata yang menunjukkan makna atas dirinya sendiri dan bersamaan dengan waktu, secara umum fi’il ada tiga macam yaitu: jika kata itu menunjukkan atas waktu lampau maka disebut fi’il madhi, dan jika kata itu menunjukkan atas waktu sekarang dan yang akan datang disebut fi’il mudhari, dan jika kata itu menunjukkan atas tuntutan sesuatu pada waktu yag akan datang disebut fi’il amar.

Penggunaan isim dan fi’il dalam al–Qur’an mempunyai beberapa tujuan diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Penggunaan isim menunjukkan sesuatu yang tetap dan tidak berubah–ubah, contoh QS Al kahfi :18.
  2. Penggunaan isim menuujukkan janji surga atau balasan yang sangat tinggi, contoh QS. Al–hijr :15.
  3. Penggunaan fi’il menunjukkan tindakan yang bersifat temporal, contoh QS.Al–baqarah: 274.
  4. Penggunaan fi’il menunjukkan pekerjaan yang berulang–ulang dan berkesinambungan, contoh QS. Fatir:3.

 

Contoh penggunaan isim dalam al–Qur’an antara lain terdapat pada surat, Al Hujurat ayat 15, Al Kahfi ayat 18 dan surat Al Baqarah 177. Sedangkan beberapa contoh ayat yang menggunakan fi’il antara lain yaitu QS. Al-baqarah: 274, QS. Asy-syu’ara: 78-82, QS. Fatir : 3, QS. An – nahl: 98, QS. Al-maidah: 6

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Simatupang, M.Fahri. Belajar Mengenal dan Mencintai Al-Qur’an. Bogor: 2002.

Al – Qththan, Mana’. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.2006.

http://dc195.4shared.com/doc/LetoIbFq/preview.html diakses tanggal 25 sep 2012.

http://cikacepet.blogspot.com/2012/03/kaidah-isim-dan-fiil.html diakses tanggal 25 sept 2012.

Masor. Pemakaian fi’il madhi dalam Al- qur’an(analisis morfosintaksis dan implikasinya pada pengajaran). Bandung: UIN sunan gunung jati. 2009

 

 


[2] M. Fachri Simatupang, Belajar Mengenal dan Mencintai Al – qur’an, hlm. 161.

 

[4] Drs. H. Masor, Pemakaian Fi’il Madhi Dalam Al-Qur’an(analisis morfosintaksis dan implikasinya bagi pengajaran), hlm.34

[5] Drs. H. Masor, Pemakaian Fi’il Madhi Dalam Al-Qur’an(analisis morfosintaksis dan implikasinya bagi pengajaran), hlm.34

[6] kaidah-isim-dan-fiil (2).html

Shahih Ibnu Khuzaimah

SHAHIH IBNU KHUZAIMAH

 

  1. A.    BIOGRAFI IBNU KHUZAIMAH

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Naisaburi. Lahir pada bulan Safar 223 H/838 M di Naisabur, sebuah kota kecil di Khurasan yang sekarang terletak di timur laut Iran. Sejak kecil beliau telah mempelajari al-Qur’an.[1]

Konon beliau sangat ingin untuk melawat menemui Ibnu Qutaibah, guna mencari dan mempelajari hadis. Lantas beliau meminta izin kepada ayahnya, akan tetapi ayahnya meminta agar Ibnu Khuzaimah terlebih dahulu mempelajari al-Qur’an hingga benar-benar memahami isinya. Kemudian setelah dianggap mampu memahami al-Qur’an, barulah ayahnya mengizinkan untuk pergi mencari dan mempelajari hadis-hadis Nabi dengan melawat ke Marwa dan menemui Muhammad bin Hisyam serta Ibnu Qutaibah.[2]

Sekitar tahun 240 H/855 M, tepatnya ketika Ibnu Khuzaimah berusia 17 tahun, ia sangat giat mengadakan lawatan intelektual ke berbagai kawasan Islam. Di Naisabur ia belajar pada Muhammad bin Humaid (w. 230H/844M), Ishaq bin Rawanih (w. 238 H/852 M), dan lain-lain. Di Marwa ia belajar kepada Ali bin Muhammad, di Roy ia belajar kepada Muhammad bin Marran dan lain-lain. Sedangkan di negeri Syam ia belajar pada Musa bin Sahl al-Ramli dan lain-lain. Di Jazirah belajar kepada ‘Abd al-Jabbar bin al-‘Ala dan lainya. Di Mesir belajar kepada Yunus bin ‘Abd al-‘Ala dan lainya. Di Wasit belajar kepada Muhammad bin Harb dan lain-lain. Di Baghdad ia belajar kepada Muhammad bin Ishaq al-Sagani dan lain-lain, dan di Kufah belajar kepada Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala al-Hamdani dan lain-lain.[3]

Selain belajar di banyak tempat, Ibnu Khuzaimah juga banyak meriwayatkan hadis dari Ahmad bin Mani’, Muhammad bin Rafi’, Muhammad bin Basyar, Bandar Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muhammad bin Yahya al-Dzuhali, Ahmad bin Sayar al-Marwazi dan sebagainya. Ia juga menerima hadis dai Imam al-Bukhari, Muslim, dan Khalaq. Dalam periwayatan hadis ia tidak mau menyampaikan hadis yang diterima dari guru-gurunya sebelum benar-benar memahaminya, seringkali ia juga memperlihatkan catatan-catatannya kepada guru-gurunya.[4]

Ibnu  Khuzaimah juga mempunyai guru dan murid yang banyak. Gurunya antara lain yaitu al-Bukhari, Muslim, Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abd bin Hakam. Sedangkan murid-muridnya antara lain yaitu Yahya bin Muhammad bin Sa’id, Abu ‘Ali an-Naisaburi dan Khala’iq. Yang paling akhir meriwayatkan hadis darinya di Naisabur yaitu cucunya sendiri yang bernama Abu Tahir Muhammad bin al-Fadhl. Selain itu hadis-hadis dari Ibnu Khuzaimah juga banyak diriwayatkan oleh ulama-ulama terkemuka pada zamannya. Di antara yang meriwayatkan hadisnya yaitu Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub at-Tabra’i, Abu Hatim, Muhammad bin Hibban al-Busyti, Abu Ahmad, Abdullah bin ‘Abd al-Jurjani, dan lain-lain.[5]

Selama hidupnya Ibnu Khuzaimah banyak menghasilkan karya tulis. Abu Abdullah al-Hakim menyebutkan bahwa karya Ibnu Khuzaimah mencapai lebih dari 140 buah. Sayangnya sebagian besar karya-karya beliau tidak sampai ke tangan kita, meskipun sekedar nama atau judul. Karyanya yang masih bisa dijumpai saat ini hanya ada dua, yaitu kitab at-Tauhid dan kita Shahih (Mukhtasar).[6]

Setelah mengisi masa hidupnya dengan berbagai perjuangan dan pengabdian, akhirnya pada malam Sabtu tanggal 2 Zulqa’dah 311 H/924 M, Ibnu Khuzaimah wafat dalam usia kurang lebih 89 tahun. Jenazahnya dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dimakamkan di bekas kamarnya yang kemudian dijadikan makam.[7]

  1. B.     SETTING SOSIAL POLITIK

Dilihat dari masanya, Ibnu Khuzaimah (223-311 H/838-924 M) hidup pada abad ke-3 hijriyah hingga awal abad ke-4 hijriyah. Pada masa ini pemerintahan yang berkuasa adalah dinasti Abbasiyah angkatan pertama dan kedua, yang sedang mengalami kemunduran (833-945M). Sedangkan dalam konteks sejarah perkembangan hadis Nabi, Ibnu Khuzaimah ini hidup pada periode kelima dan keenam. Periode kelima yang berkisar selama abad ke-3 hijriyah merupakan masa pemurnian, penyehatan dan penyempurnaan hadis, sedangkan periode keenam yang dimulai sejak abad ke-4 hingga abad ke-7 hijriah merupakan masa pemeliharaan, penertiban dan penghimpunan hadis.[8]

Secara umum selama masa tersebut keadaan politik dan militer pemerintahan sedang mengalami kemerosotan, akan tetapi dalam bidang ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan. Hingga abad ke-4 hijriah bahkan daulah islamiyah mencapai zaman keemasa dalam bidang ilmu pengetahuan, termasuk dalam bidang hadis.

Ibnu Khuzaimah lahir pada masa pemerintahan khalifah al-Mu’tasim (218-227 H/833-842 M). Selama kurang lebih sembilan tahun al-Mu’tasim berkuasa, kebijakannya terhadap ahli hadis tidak berbeda dengan khalifah terdahulu yaitu menekan, bahkan menyiksa para ahli hadis. Bahkan khalifah penggantinya pun, yakni al-Watsiq (227-232 H/842-874 M) tetap menerapkan kebijakan yang sama.[9]

Setelah Watsiq wafat, jabatan khilafah diganti oleh al-Mutawakkil (232-246 H/847-861 M). Pada saat kekuasaannya Ibnu Khuzaimah berusia antara 10-24 tahun. Berbeda dengan tigfa khalifah sebelumnya, khalifah al-Mutawakkil ini pemahamannya lebih sejalan dengan para ulama hadis. Beliau sangat menaruh perhatian dan minat yang sangat tinggi terhadap sunnah atau hadis-hadis Nabi. Beliau pun sangat menghormati para ulama ahli hadis dan sering mengundang mereka keistana. Selama pemerintahan inilah penyebaran, pencarian dan kajian hadis mengalami perkembangan yang sangat pesat.[10]

Disisi lain, konflik sosial politik semakin menajam sejak masa-masa sebelumnya turut memotivasi pembuatan dan penyebaran hadis-hadis palsu serta kisah-kisah yangmenyesatkan umat semakin merajalela. Dalam situasi kondisi tersebut bangkitlah para ulama dan peminat hadis, termasuk Ibnu Khuzaimah, untuk aktif menekuni hadis.[11] Karenanya ia giat melawat mencari hadis keberbagai daerah hingga beliau menyusun kitab koleksi hadisnya, yang kemudian lebih populer disebut Shahih Ibnu Khuzaimah. Selama hidupnya beliau banyak menggeluti hadis-hadis Nabi yang pada saat itu sedang tumbuh subur, sampai akhirnya beliau wafat pada masa pemerintahan al-Muqtadir (908-932M).[12]

  1. PENILAIAN PARA ULAMA TERHADAP IBNU KHUZAIMAH

Berkat kecerdasan dan keuletannya dalam mencari ilmu pengetahuan, akhirnya Ibnu Khuzaimah menjadi seorang imam besar di Khurasan. Ia pun banyak menggeluti hadis dengan mempelajari dan mendiskusikannya. Sehingga ia terkenal sebagai seorang hafidz dan digelari imam al-a’immah (pemimpin di antara para pemimpin).[13]

Dari segi kepribadian Ibnu Khuzaimah dikenal sebagai orang yang sangat baik. Banyak orang yang memberikan kesaksian dan komentar tentang kebaikan Ibnu Khuzaimah. Ia dikenal sebagai orang yang berani menyampaikan kebenaran, kritik dan koreksi sekalipun pada penguasa, terutama jika berkaitan dengan penyampaian hadis yang keliru. Ia juga dikenal sangat dermawan dan suka bersedekah. Abu Tahir bin al-Fadl (w. 387 H/997 M), cucu Ibnu khuzaimah menyatakan bahwa kakeknya suka bekerja keras dan suka memberi uang dan pakaian kepada pecinta ilmu, meski sebenarnya yang dimiliki beliau juga sangat terbatas.

Al-Hakim menyatakan bahwa Ibnu Khuzaimah sering mengadakan dakwah secara besar-besaran di Bustan, dimana acara tersebut dihadiri oleh banyak orang, baik dari orang kaya maupun miskin. Selain itu ia juga dikenal memiliki kecerdasan dan daya hafal yang luar biasa. Abu ‘Ali al-Husain bin Muhammad al-Hafizd an-Naisaburi berkata, “Aku belum pernah menemukan orang sehebat Muhammad bin Ishaq (Ibnu Khuzaimah). Beliau sangat mampu menghafal hukum-hukum fiqih dari hadis-hadis Nabi sebagaimana dari hafalan al-Qur’an.” Hal senada juga dikemukakan oleh ad-Daruqutni yang menyatakan bahwa ia adalah seorang pakar hadis yang sangat terpercaya dan sulit mencari bandingannya. Sementara itu, Ibnu Abi Hatim memberikan komentar bahwa Ibnu Khuzaimah adalah orang yang sangat mumpuni. Ar-Rabi’, salah seorang guru Khuzaimah dalam bidang fiqih, juga menuturkan secara tulus bahwa ia pun banyak memperoleh manfaat dari Ibnu Khuzaimah.[14]

  1. SHAHIH IBNU KHUZAIMAH

Naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah, awalnya merupakan manuskrip. Manuskrip tersebut pertama kali ditemukan sekitar abad ke-6 atau awal abad ke-7 Hijriah di toko Ahmad Tsalis di Istanbul. Ustadz al-Mubaraktuni menyatakan bahwa manuskrip tersebut juga ditemukan di toko-toko buku lainnya di Eropa. Manuskrip tersebut berjumlah 311 lembar/halaman. Sedangkan naskah yang sekarang beredar di masyarakat ialah naskah cetakan Shahih Ibn Khuzaimah yang merupakan hasil suntingan Dr. M.M. Azami. Naskah tersebut pertama kali diterbitkan oleh al-Maktab al-Islami pada tahun 1390H/1970M.[15]

Mengenai orang-orang yang meriwayatkan kitab ini dari penulisnya tidak diketahui secara pasti. Namun diketahui bahwa kitab tersebut tersebar melalui periwayatan cucu laki-lakinya yaitu Abu Tahir Muhammad bin al-Fadhl. Menurut al-Khalili, al-Fadl adalah orang yang aling akhir yang meriwayatkan kitab tersebut.[16]

Metode yang digunakan dalam kitab ini adalah metode imla, yakni dengan cara Ibn Khuzaimah mendiktekan hadis-hadis kepada murid-muridnya. Sedangkan dari segi sitematika penyusunannya, naskah cetakan kitab Ibnu Khuzaimah seluruhnya terdiri dari 4 juz/jilid. Dan keseluruhan jilid tersebut dibagi menjadi 7 kitab. Dan tiap-tiap kitab diklasifikasikan menjadi beberapa bab dengan jumlah yang berbeda-beda untuk tiap-tiap kitabnya, berkisar antara 100-500an bab.[17]

 


[1]Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam M. Alfatih Suryadilaga (ed.), Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm.218 .

[2] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 219.

[3] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 219.

[4] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 219.

[5] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 220.

[6] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 221.

[7] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 222.

[8] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 223.

[9]Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 223-225.

[10]Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 225.

[11]Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 225.

[12] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 226.

[13] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 220.

[14] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 220-221.

[15] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm. 226-227.

[16] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm.229.

[17] Dadi Nurhaedi, “ Shahih Ibnu Khuzaimah” dalam Studi Kitab Hadis, hlm.231.

Hadis tentang 5 Rahasia Allah

BAB I

PENDAHULUAN

 

Setiap manusia diciptakan dengan akal, yang digunakan untuk berfikir dan merenungkan keagungan Allah SWT. Dengan akal tersebut maka manusia dapat mengetahui ilmu – ilmu dan pengetahuan yang diberikan oleh Allah. Namun pengetahuan yang dimiliki manusia sangatlah sedikit di bandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh Allah. Hal ini karena keterbatasan akal manusia. Oleh karena itu ada ilmu atau pengetahuan yang hanya dimiliki oleh Allah saja, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia. Hal – hal tersebut disebutkan dalam hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori sebagai kunci perkara – perkara ghaib. Perkara – perka ghoib ini ada yang tidak dapat diketahui secara mutlak dan ada juga yang dapat diketahui meskipun hanya sebagian kecil.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.    TEKS HADIS

 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَفَاتِيحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَافِى الْاَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي َنفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ بِاَيٍّ اَرْضٍ تَمُوْتُ اِنَّ للهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaiman dia berkata; telah menceritakan kepada ku Ibn Wahb dia berkata telah menceritakan kepadaku Umar bin Mahmud bin Zaid bin Abdullah bin Umar bahwa bapaknya menceritakan kepadanya sesungguhnya Abdullah bin Umar ra. berkata; Nabi SAW bersabda:  kunci ghaib itu ada lima perkara,lalu beliau membaca “ sesungguhnya hanya disisi Allah ilmu tentang hari kiamat, dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui ( dengan pasti ) apa yang akan di kerjakanya besok, dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. ( HR. Bukhori No. 4405 ).

Hadis diatas terdapat dalam kitab Shahih Bukhori no 4405. Selain hadis tersebut ada juga beberapa hadis yang serupa, salah satunya yaitu hadis yang terdapat dalam Sunan Ahmad no. 4536.

حد ثنا وكيع حد ثنا سفيان عن عبد الله بن دينار عن ابن عمر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مفا تيح الغيب خمس لا يعلمه الا الله.

Artinya : Telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar ia berkata Rasulullah SAW bersabda: “ kunci – kunci ghoib itu ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. ( HR.Ahmad no. 4536)

Hadis – hadis lain yang matanya hampir sama dengan kedua hadis tersebut antara lain:

Shahih Bukhori no. 981, 4261, 4328, 6831

Musnad Ahmad no. 4887, 4975, 5322, 5770.

  1. B.      PENGERTIAN KUNCI PERKARA GHOIB

Sebagian matan dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori no 4405 diatas adalah firman Allah yang tedapat dalam QS. Luqman ayat 34:

اِنَّ الله َعِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَافِى الْاَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي َنفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ بِاَيٍّ اَرْضٍ تَمُوْتُ اِنَّ للهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.

Artinya: Sesungguhnya hanya disisi Allah ilmu tentang hari kiamat, dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada di dalam rahim. Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui ( dengan pasti ) apa yang akan di kerjakanya besok, dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ada lima perkara yang hanya diketahui oleh Allah SWT saja. Ibnu Abbas berkata lima perkara ini tidak diketahui kecuali oleh Allah , bahkan oleh malaikat yang didekatkan dan nabi yang diutus sekalipun. Barangsiapa yang mengaku bahwa dia mengetahui satu pun dari lima perkara ini , maka sungguh dia telah ingkar terhadap alqur’an sebab dia telah mneyalahi al-qur’an.[1] Kelima hal tersebut yaitu:

  1. 1.      Pengetahuan Tentang Hujan

Adapun mengenai pengetahuan tentang hujan yang dibahas dalam bab ini bukanlah tentang bagaimana atau siklus turunya hujan yang sudah banyak dipelajari dalam ilmu pengetahuan alam, melainkan tentang waktu, tempat dan berapa banyak hujan diturunkan.

Tidak ada yang tahu dengan pasti kapan, dimana dan berapa banyak Allah akan menurunkan hujan. Semua itu adalah rahasia Allah, bahkan para ahli  meteorologi (ilmu cuaca) juga tidak bisa mengungkapkan dengan pasti mengenai hal tersebut, sehingga sampai saat ini istilah yang digunakan adalah prakiraan cuaca yakni mereka belum dapat memastikan. Yang mereka lakukan masih dalam bentuk perkiraan.

Penggunaan bentuk mudharri’ pada lafal yunazzilu juga untuk mengisyaratkan bahwa itu terjadi terus menerus dari waktu ke waktu kapan Allah akan menetapkanya. Dan sampai sekarang manusia belum mampu membendung turunya hujan bahkan dinegara maju sekalipun.[2] Ketika hujan turun tak ada seorangpun yang mampu menghentikanya.

  1. 2.      Apa Yang Terdapat Didalam Rahim

Para ulama dahulu memahaminya dalam arti mengetahui jenis kelaminnya. Tapi kini ulama memahami dalam arti lebih luas, ini karena kata ma dalam lafal  ya’lamu ma fi al arham  dapat mencakup segala sesuatu. Dalam konteks ayat ini adalah yang berkaitan dengan janin, seperti proses pertumbuhan janin, berat badan, usia, rezekinya, masa kini dan masa depanya dan lain – lain.[3]

Terkadang ada beberapa hal yang dapat diketahui berdasarkan pengalaman dan eksperimen, seperti mengetahui jenis kelamin janin dan lain- lain, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah Al-An’am. Akan tetapi tidak jarang juga pengalaman dan hasil eksperimen berbeda dari dari biasanya dan tetaplah ilmu tentang semua itu hanya milik Allah.[4]

  1. 3.      Apa Yang Akan Dilakukan Manusia Esok Hari

Tidak ada yang tahu bagaimana nasib manusia yang belum terjadi, apakah mereka akan melakukan kebaikan atau keburukan, sekalipun manusia sudah melakukan perencanaan yang sangat baik namun pada akhirnya Allah jualah yang menentukan apakah rencana tersebut bisa terlaksan atau tidak. Akan tetapi bukan berarti sebagai manusia hanya menunggu dan tidak melakukan apa – apa, manusia tetap harus berusaha dan merencanakan hal – hal yang baik untuk hari esok.

 

 

  1. 4.      Tidak Ada Seorangpun Yang Tahu Di Bumi Mana Dia Akan Mati.

Karena kematian datangnya tiba – tiba tidak ada satu orangpun yang tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Apakah di daratan, lautan, atau dimanapun hanya Allah saja yang tahu. Sebagai manusia tugasnya hanyalah selalu berwaspada dan ingat akan kematian.

  1. 5.      Waktu Terjadinya Kiamat

Tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan kiamat akan terjadi. Para malaikat dan nabi juga tidak mengetahuinya. Manusia hanya di beri tahu tanda – tanda kiamat melalui Al- Qur’an dan hadis – hadis dari Nabi SAW. Pengetahuan Allah tentang kiamat pada ayat ini  disertai dengan kata ‘Indahu yang mengandung makna penghususan untuk tidak dapat diketahui oleh manusia, sedang perkara  yang ghoib lainya tidak secara mutlak demikian, sehingga dapat dipahami bahwa keempat perkara yang ghoib diatas bukanlah termasuk ghaib yangg tidak dapat diketahui oleh manusia.

Perbedaan redaksi diatas boleh jadi mengisyaratkan bahwa manusia dapat mengetahui sekelumit tentang perkara ghoib tersebut, bila Allah menyampaikan kepadanya melalui salah satu cara penyampaian, misalnya penelitian ilmiah. Namun demikain manusia dapat mengetahuinya dalam kadar pengetahuan  manusia bukan dalam kadar pengetahuan Allah. [5]

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

KESIMPULAN

Pada bembahasan diatas telah dijelaskan bahwa ada lima hal yang hanya diketahui oleh Allah. Kelima hal tersebut yaitu

  1. pengetahuan tentang hujan
  2. Apa yang terdapat didalam rahim
  3. Apa yang akan dilakuka oleh manusia pada esok hari
  4. Dibumi mana manusia akan mati
  5. Datangnya hari kiamat

Akan tetapi lima hal tersebut dapat diketahui manusia jika Allah menyampaikanya dengan salah satu penyampaianya, misalnya penelitian ilmiah. Namun demikian hal yang dapat diketahui oleh manusia hanya sebagian kecil saja dari pengetahuan Allah SWT. Allah menyembunyikan hal – hal tersebut karena ada banyak hikmah yang dapat diambil. Sehingga  banyak kemaslahatan yang akan terabaikan jika jika hal itu terungkap.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alqurthubi, Imam. Tafsir Al Qurthubi Jilid 14. Pustaka Azzam. Jakarta: 2009.

Shihab, M Quraish. Tafsir Al Misbah Jilid 11.  Lentera Hati. Tangerang:  2008.

Naufal, Abdurrazaq. Hari Kiamat. PT Rineka Cipta. Jakarta: 1993.

http//: Holy qur’an beta.34.html diakses tanggal 29 Oktober 2012.

http//: lidwa – pustaka.com diakses tangga 29 oktober 2012.

 

 


[1] Syaikh Imam Al- Qurthubi, Tafsir  Al Qurthubi Jilid 14, hlm. 195.

[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Jilid 11, hlm. 164.

 

[3] Syaikh Imam Al- Qurthubi, Tafsir  Al Qurthubi Jilid 14, hlm. 197.

[4] Syaikh Imam Al- Qurthubi, Tafsir  Al Qurthubi Jilid 14, hlm . 196.

[5]  M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Jilid 11, hlm. 168.

 

tafsir ayat tentang gunung

  1. Teks ayat dan terjemahannya

QS. Ar-Ra’du  ayat 3

 

وَهُوَ الَّذِي مَدَّ الأرْضَ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْهَارًا وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

 

Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

  1. Tafsir mufradat[1]

مَدَّ الأرْضَ           : yang telah menghamparkan bumi.

وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ : dan menjadikan padanya beberapa gunung yang tinggi.

وَأَنْهَارًا               :  dan sungai-sungai

وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ جَعَلَ فِيهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ : dan dia jadikan dimuka bumi sepasang dari tiap-tiap buah-buahan.

يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ   : dan menjadikan malam untuk menyelimuti siang.

لآيَاتٍ                 : terdapat tanda-tanda ( kebesaran Allah

 

  1. Tafsir ayat

 

Dalam tafsir An-Nur jilid 5 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan menghamparkan bumi yaitu menjadikan bumi lebar dan terhampar agar menjadi tempat hidup mahluk hidup. Semua binatang akan hidup diatasnya dengan leluasa[2]  dan manusia dapat mengambil manfaat atas apa yang ada dibumi, salah satunya yaitu manfaat dari tanaman-tanamannya serta manusia dapat berjalan kesegenap penjuru untuk mencari rizki. Keadaan bumi yang terhampar ini tidaklah mematahkan pendapat bahwa bumi itu bulat.[3]

 Akan tetapi merujuk pada pandangan mata yang bila melihat bumi ini akan terasa seperti seakan-akan bumi ini terhampar luas dan datar. Kemudian Allah juga menjadikan gunung-gunung diatas permukaan bumi sebagai tonggak untuk menjaga kestabilan bumi. Allah juga menjadikan sungai-sungai yang mengalir sebagai salah satu unsur kehidupan manusia yang menghasilkan manfaat bagi manusia dan binatang, selain itu juga digunakan untuk menyirami tumbuh-tumbuhan yang beraneka macam.[4]

Dan Allah menjadikan dimuka bumi ini tiap-tiap sesuatu dengan berpasang-pasangan, yakni jantan dan betina dari segala jenis buah-buahan. Ilmu pengetahuan telah menetapkan bahwa sebuah pohon itu tidak akan berbuah kecuali jika telah terjadi perkawinan antara unsur jantan dan betina yang biasanya berada pada sebagian besar jenis pohon-pohon. Ada pula pohon yang mempunyai unsur jantan dan betina itu pada pohon yang berlainan seperti pohon kurma, sehingga perlu dikawinkan supaya dapat berbuah, dan ada pula yang mempunyai unsur jantan dan betina itu dalam suatu bunga seperti pohon kapas.[5]

Lalu Allah menutupi siang dengan kegelapan malam sehingga menjadi gelap seperti menutupi dengan kain hitam. Demikian pula allah menyelimuti malam dengan sinar siang yang terang benderang. Kejadian siang dan malam ini bertujuan untuk menyempurnakan kemanfaatan bagi manusia dengan memberikan kesempatan beristirahat ( tidur ) dimalam hari dan bekerja disiang hari.

 Pada akhir ayat disebutkan bahwa pada segala apa yang telah diterngkan oleh Allah, yakni menghamparkan bumi, menjadikan gunung-gunung dan sungai yang mengalir, buah-buahan yang berpasang-pasangan, serta siang dan malam yang terus bergantian, sungguh terdapat tanda-tanda yang nyata yang menunjukkan kebesaran Allah dan ke Esaan-Nya bagi orang yang mau berfikir dan mengambil pelajaran.[6]

 

  1. Teks ayat dan terjemahan

 

QS. An-Naml ayat 88

 

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

 

  1. Tafsir Mufradat[7]

جَامِدَةً : tetap pada tempatnya

أَتْقَنَ : mengokohkan

تَمُرُّ : ia berjalan ( bergerak )[8]

مَرَّ السَّحَابِ : seperti geraknya awan

 

  1. Tafsir ayat

Mengenai tafsiran ayat ini ada dua pendapat yaitu pendapat ulama tafsir klasik yang menyatakan bahwa pada ayat ini Allah SWT menerangkan, bahwa gunung-gunung yang sekarang kelihatannya tetap di tempatnya, nanti pada hari kiamat gunung-gunung itu akan dicabut dari dasarnya kemudian diterbangkan seperti bulu di udara sebagai jalannya awan,[9]seperti yang terdapat dalam tafsir al-Maraghi yang menggolongkan ayat ini sebagai ayat yang menyampaikan beberapa tanda kiamat salah satunya yaitu pada saat kiamat ditiuplah sangkakala sehingga seluruh yang ada dilangit dan dibumi, kecuali yang dikehendaki Allah menjadi terkejut dan ketakutan.

Diterangkan pula bahwa pada waktu itu gunung-gunung berjalan seperti awan berjalan.[10] Hal ini terjadi pada tiupan sangkakala yang kedua, ketika mahluk dikumpulkan. Maka Allah mengganti bumi dengan bumi yang lain ( mengubah bentuknya ) dan menjalankanya dari tempatnya agar orang-orang yang sedang ada di padang mahsyar melihatnya.[11]

Pendapat kedua berasal dari para ulama falak yang mengatakan bahwa ayat ini berhubungan dengan fenomena masa kini bukan fenomena hari kiamat dengan alasan berikut ini:[12]

1. Ayat ini tidak dapat/patut dimasukkan dalam kategori ancaman atau menakuti-nakuti dengan kedahsyatan Hari Kiamat, sebab di belakangnya disambung dengan kata-kata : (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Yang cocok ialah bila ayat ini dihubungkan dengan masa sekarang, di mana kita manusia sebagai penghuni bumi menyangka bahwa bumi ini diam saja, demikianlah pula gunung-gunung yang berada di atas permukaannya, padahal bumi bersama gunung-gunung itu berjalan, beredar sebagai jalannya awan. 
2. Diterbangkannya gunung-gunung itu untuk dihancurkan pada Hari Kiamat terjadinya bersamaan dengan hancurnya alam semesta, termasuk matinya seluruh manusia. Yang tinggal hidup hanya beberapa malaikat saja. Jadi jika pada hari setelah tiupan pertama dari sangkakala itu tidak ada lagi manusia yang hidup, bagaimana dapat dikatakan bahwa nanti kamu akan melihat gunung-gunung yang disangka diam saja, padahal ia itu berjalan sebagai jalannya awan. 
3. Orang-orang di padang Mahsyar yang menyaksikan gunung-gunung itu berjalan sebagai jalannya awan, tentu mereka sadar, melihat dengan mata kepala sendiri dan tidak pantas dikatakan bahwa mereka menyangka gunung-gunung itu berdiam saja di tempatnya. Berlainan sekali jika dihubungkan dengan masa sekarang, karena memang manusia tidak dapat merasakan bahwa gunung-gunung itu bergerak dan berjalan di angkasa sebagai jalannya awan, karena gunung-gunung itu ikut bergerak bersama buminya, dan udara yang ada di sekitarnya. Dengan memandang demikian, maka barulah cocok dengan kata-kata (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu, dan kata-kata yang indah ini tidak patut dikemukakan pada Hari Kiamat yang penuh dengan ancaman dan ketakutan terhadap kehancuran seluruh alam semesta pada Hari Kiamat itu tidak patut dikatakan: “Begitulah perbuatan Allah membuat kokoh tiap sesuatu”. Demikianlah kedua pendapat tentang tafsir ayat 88 ini , sebagian besar dari mufassir menerangkan bahwa ayat itu berhubungan dengan peristiwa Hari Kiamat, dan sebagian lagi yang terdiri dari ulama falak menerangkan bahwa ayat itu berhubungan dengan peristiwa sekarang, dan dijadikan dalil bahwa sekalian yang ada di atasnya termasuk gunung-gunung semuanya bergerak, berjalan di angkasa sebagai jalannya awan. Perbedaan tafsiran itu tidak mengenai artinya, hanya di sekitar waktu terjadinya, dan oleh karena termasuk kejadian dalam alam gaib, maka yang lebih baik, perhatian manusia dititik beratkan kepada perbaikan amalnya, dan oleh karena itu pada akhir ayat itu dinyatakan: sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Salah satu bukti bahwa ayat ini menunjukkan masa sekarang yaitu hasil rekaman satelit yang menunjukkan bahwa Jazirah Arab beserta gunung-gunungnya bergerak mendekati Iran beberapa sentimeter setiap tahunnya. Sebelumnya sekitar lima juta tahun yang lalu Jazirah Arab bergerak memisahkan diri dari Afrika dan membentuk laut merah. Sekitar daerah Somalia sepanjang Pantai Timur ke selatan saat ini berada dalam proses pemisahan yang lamban dan telah membentuk “ Lembah Belah” yang membujur ke selatan melalui deretan danau Afrika.[13]

 


[1] Hasbi, Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Qur’an An-Nur jilid 5 ( Jakarta: Bulan Bintang. 1969. ), hlm. 70-71.

[3] Hasbi, Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Qur’an An-Nur jilid 5, hlm. 70.

[4] Hasbi, Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Qur’an An-Nur jilid 5, hlm. 70

[6] Hasbi, Ash-Shiddiqie, Tafsir Al-Qur’an An-Nur jilid 5, hlm. 71.

[7] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jilid 20, ( Semarang: Toha Putra. 1974 ), hlm. 37.

[8] Ahmad Hatta, Tafsir  Al-Qur’an Perkata, ( Jakarta: maghfirah Pustaka, 2009 ), hlm. 384.

[10] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jilid 20, hlm.38.

[11] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi jilid 20, hlm.43.

[13] M. Quraish Shihab, Mu’jizat Al-Qur’an, ( Bandung: Mizan 1997 ), hlm. 187-188.

post-Modern

KATAPENGANTAR

         Segala puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Dan tanpa pertolongan-Nya, mungkin makalah ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya sesuai dengan yang diinginkan.

         Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui paradima pemikiran di era Post-modernisme dalam islam sebagai refleksi dari era Modernisme. Makalah ini disusun dengan berbagai rintangan. Baik yang datang dari diri penyusun mupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

         Makalah ini memuat tentang “Aliran dan Tokoh Post-modernisme Dalam Islam” yang merupakan antitesa dari era modern yang identik dengan paradigma positivistik, empiris dan rasionalis. Dan terkadang tidak relevan dengan kondisi sosio-kultural yang ada di masyarakat.

         Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan dan cakrawala berpikir yang lebih luas kepada pembaca. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan emoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman semuanya.

                                                                                                    

 Penyusun,

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dunia saat ini sedang bergejolak, khususnya dalam bidang filsafat, ilmu, seni dankebudayaan. Manusia merasa tidak puas dan tidak dapat bertahan dengan perkembanganilmu pengetahuan dan teknologi, kapitalisme, serta cara berpikir modern. Modernismedianggap sudah usang dan harus diganti dengan paradigma baru yaitu postmodernisme.Postmodernisme adalah suatu pergerakan ide yang menggantikan ide-ide zaman modern(yang mengutamakan rasio, objektivitas, dan kemajuan). Postmodern ingin memiliki cita-cita, ingin meningkatkan kondisi ekonomi dan sosial, kesadaran akan peristiwa sejarahdan perkembangan dalam bidang penyiaran. Postmodern mengkritik modernisme yangdianggap telah menyebabkan desentralisasi di bidang ekonomi dan teknologi, apalagi hal ini ditambah dengan pengaruh globalisasi. Selain itu, postmodern menganggap mediayang ada saat ini hanya berkutat pada masalah yang sama dan saling meniru satu samalain.

 

Perjalanan sejarah umat manusia telah memasuki zaman Postmodern. Namun demikian nampaknya belum ada kesepakatan tentang konsep Postmodern tersebut. Dalam studi Postmodernisme mengisyaratkan adanya dua hal. Pertama, Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman Modern. Dalam pengertian ini era modern telah dianggap berakhir dan dilanjutkan dengan zaman berikutnya, yaitu Postmodern. Kedua, Postmodernisme dianggap sebagai gerakan intelektual yang mengkritik dan mendekonstruksi paradigma pemikiran pada zaman modern.

 

Sebagaimana diketahui bahwa modernisme yang sangat mengagungkan kekuatan rasionalitas, mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis meskipun telah menghasilkan berbagai sains modern dan teknologi akan tetapi telah menyisakan problem serius, yakni membawa manusia pada absolutisme, alienasi serta cenderung represif. Oleh karenanya Postmodern muncul sebagai gugatan atas worldview zaman modern yang bersifat absolut dan represif ini. Postmodern membawa dan mewacanakan Pluralisme, relativisme dan penolakan terhadap kebenaran tunggal seperti yang terjadi di zaman modern.

 

 

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat latar belakang masalah yang termaktub di atas, maka rumusan masalah yang dapat diangkat adalah :

I. Jelaskan pengertian Post-modernisme dan sejarah munculnya ?

II. Bagaimanakah ciri-ciri era Post-modernisme ?

III. Bagamanakah sejarah Post-modernisme dalam Islam serta aspek-aspek peradabannya ?

IV. Siapakah Tokoh Post-modernisme dalam islam beserta pemikirannya ?

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

I.A. Pengertian

Secara etimologis Postmodernisme terbagi menjadi dua kata, post dan modern. Kata post, dalam Webster’s Dictionary Library adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’. Bila kita menyatukannya menjadi postmodern maka akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri dengan mencoba menjawab pertanyaan pertanyaan yang tidak dapat terjawab di zaman modern yang muncul karena adanya modernitas itu sendiri.

Sedangkan secara terminologi, menurut tokoh dari postmodern, Pauline Rosenau (1992) yanng dikutip dari artikel Haris mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.[1]

B. Sejarah Postmodernisme

Postmodernisme berasal dari kata  post dan modern. “Post” atau” pasca” secara literal mengandung arti sesudah, jadi istilah Postmodernisme berarti era pasca modern berupa gugatan kepada modernisme. Berkaitan dengan definisi Postmodernisme itu sendiri, belum ada rumusan yang baku sampai saat ini, karena Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19.[2]

            Istilah Postmodernisme digunakan dalam berbagai arti, dan tidak mudah untuk membuat dan merumuskan satu definisi yang dapat mencakup atau menjangkau semua dimensi arti yang dikandungnya.  Istilah postmodernsme pertama kali muncul sebelum tahun 1926, yakni tahun 1870 an oleh seniman Inggris bernama John Watkins. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah Postmodernisme telah dibuat pada akhir tahun 1940 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni asal Amerika, Charles Jenck untuk menjelaskan gerakan anti modernism.[3]

 

Istilah postmdernisme pertama-tama dipakai dalam seni arsitektur. Diantara ciri utama arsitektur modern adalah gedung-gedung tinggi menjulang yang sangat teratur tanpa banyak variasi. Dari seni arsitektur, istilah Postmodernisme dipakai juga untuk bidang teori sastra, teori sosial, gaya hidup, filsafat, bahkan juga agama.

 

            Dalam kajian Postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal. Pertama. Postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern. Kedua. Postmodern dianggap sebagai gerakan intelektual (intellectual movmen) yang mencoba menggugat, bahkan  mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya kekuatan rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia kepada absolutisme dan cenderung represif,[4]yang keduanya akan kami bahas dalam bab-bab selanjutnya.

Adapun inti pokok alur pemikiran Postmodernisme adalah menentang segala hal yang berbau kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.[5]

 

II. Konsep dan Ciri-ciri di Era Postmodernisme

Menurut Amin Abdullah, ciri-ciri Post modernisme terbagi ke dalam dua bentuk.  Pertama, Post-modernisme sebagai mode pemikiran dan Kedua, sebagai periode kesejarahan.

 

1) Post-modernisme sebagai mode pemikiran

A.  Dekonstruktifisme

Era Postmodernisme ingin melihat suatu fenomena social, fenomena keberagamaan, realitas fisika apa adanya, tanpa harus terkurung oleh anggapan dasar atau teori baku dan standar yang diciptakan  pada masa modernisme. Maka konstruksi bangunan  atau bangunan keilmuan yang telah dibangun susah payah oleh generasi modernisme ingin diubah, diperbaiki, dan disempurnakan oleh para pemikir postmodernis. dalam istilah Amin Abdullah dikenal dengan “ deconstructionism” yakni upaya mempertanyakan ulang teori-teori yang sudah mapan yang telah dibangun oleh pola pikir modernisme, untuk kemudian dicari dan disusun teori yang lebih relevan dalam memahami kenyataan masyarakat, realitas keberagamaan, dan realitas alam yang berkembang saat ini.[6] 

B. Relativisme

Dari sinilah nampak jelas, bahwa para pemikir Postmodernisme menganggap bahwa segala sesuatu itu sifatnya relative dan tidak boleh absolut, karna harus mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada. Namun konsepsi relativisme ini ditentang oleh Seyyed Hoessein Nasr, seorang pemikir kontempor. Baginya tidak ada relativisme yang absolut lantaran hal itu akan menghilangkan normativitas ajaran agama. Tetapi juga tidak ada pengertian absolut yang benar-benar absolut, selagi nilai-nilai yang absolute itu dikurung oleh historisitas keanusiaan itu sendiri.

C. Pluralisme

Akumulasi dari ciri pemikiran Postmodernisme yaitu pluralisme. Era pluralisme  sebenarnya sudah diketahui oleh banyak bangsa sejak dahulu kala, namun gambaran era pluralisme saat itu belum dipahami sepeti era sekarang,Hasil teknologi modern dalam bidang transportasi dan komunikasi menjadikan era pluralisme budaya dan agam telah semakin dihayati  dan dipahami oleh banyak orang dimanapun mereka berada. Adanya pluralitas budaya, agama, keluarga, ras, ekonomi, social, suku, pendidikan, ilmu pengetahuan, militer, bangsa, negara, dan politik merupakan sebuah realitas. 

2) Post-modernisme sebagai periode kesejarahan

Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1994), terdapat delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme.[7]

 

Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.

 

Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari  system indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya  menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia.

 

Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk  membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.

 

Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau.

 

Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama)  atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga).

 

Keenam, semakin terbukanya peluang bagi berbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi.

 

Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.

 

Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus postmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:143-4).

III.A. Sejarah Post-modernisme Dalam Islam

Bagi umat Islam, modernisme adalah salah satu fase sejarah yang ditandai dengan maraknya aktivitas mulai dari maraknya pemikiran Islam hingga tindakan politik, dari arsitektur hingga mode berpakaian. Fase modernis Muslim pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kolonialisme Eropa, sehingga dalam beberapa hal umat Islam banyak unsure kesamaannya dengan Negara Eropa. Oleh Karena itu jika fase modern berarti mengejar pendidikan Barat, tekhnologi dan industrialisai pada fase pertama periode pasca colonial, maka postmodern bias diartikan sebagai upaya kembali kepada nilai-nilai tradisional Muslim dan menolak modernisme yang nantinya akan mebangkitkan rospon kaum muslim dalam segala bidang, termasuk politik, arsitektur, serta mode pakaian.[8]Oleh karena itu Postmodernisme dalam dunia islam mempunyai arti peralihan menuju identitas Islam yang sejati yang bertentangan dengan identitas Barat.[9]

 

Berbagai respon diberikan masyarakat muslim terhadap postmodernisme ini. Jika Postmodernisme dipandang semata-mata sebagai bentuk respon dan jawaban terhadap kekurangan-kekurangan dan kelemahan modernisme, maka kita dapat melihat kembali bentuk-bentuk respon masyarakat muslim terhadap modernisme. Karena baik disadari atau tidak, respon masyarakat terhadap modernisme sebenarnya merupakan refleksi, apresiasi dan respon masyarakat muslim terhadap munculnya postmodernisme. Di antara respon masyarakat muslim tersebut adalah:

a.      Ada yang mengingkari seluruh nilai-nilai modernitas dan melihatnya sebagai akar penyebab munculnya problem modern

b.      Ada yang melihatnya sebagai sebuah berkah

c.       Ada yang melakukan kritik dan memodifikasi modernisme

Sikap-sikap seperti ini ada pada masyarakat muslim pascamodern atau postmodern. Maka logika dialektikanya, bahwa respon masyarakat muslim terhadap postmodernisme adalah:

a.       Ada yang menerima secara utuh postmodernisme dalam Islam sebagai jawaban terhadap problem-problem modern

b.      Ada yang masih terkagum-kagum terhadap modernisme sehingga tidak peduli dengan wacana postmodernisme.

c.       Mayoritas di antara umat muslim tetap dalam bentuknya yang tradisional

d.      Yang paling banyak di antara mereka adalah tidak tahu wacana postmodernisme sama sekali sehingga tidak memberikan respon apa-apa, kendatipun kadang-kadang tanpa disadari pola pemikira maupun tindakan mereka mengarah pada pola post-modernisme.[10]

 

B. Aspek-aspek Peradaban Postmodernisme dalam Islam

1) Dalam bidang Pendidikan

Ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dalam memandang ilmu pengetahuan, dari pemisahan keilmuan agama dengan keilmuan umum kepada paradigma integralistik, yaitu penyatuan antara dua kelompok besar ilmu tersebut. Hal ini karena dinilai bahwa pemisahan antar keduanya telah menyebabkan pada kehidupan yang tidak seimbang. Mereka yang mengenyam pendidikan umum akan terasa jauh dari agama sehingga merasa kekeringan spiritualitasnya. Pergeseran nilai juga terjadi akibat berkembang pesatnya ilmu dan tehnologi yang tidak berwawasan manusiawi. Pemaknaan hiduppun menjadi tidak lagi pengabdian suci untuk menata kehidupan berkebudayaan secara harmonis, melainkan sudah mengukuhkan suatu tatanan hukum rimba. Nilai-nilai cinta kasih telah bergeser pada individualistik.[11]

 

2) Dalam Bidang Teknologi Informasi

Sebagaimana dinyatakan Akbar S. Ahmad, bahwa ciri sosiologis peradaban postmodernisme adalah dengan mendominasinya media massa. Dalam realitas kehidupan, hal ini bisa dilihat dengan sangat nyata. Dalam kehidupan muslim, hal ini dapat dilihat seperti semakin luasnya media dakwah. Dakwah tidak lagi hanya dengan pengajian-pengajian akan tetapi melalui telavisi, radio, internet, telephone celluler, majalah, buku, dan berbagai media baik elektronik maupun cetak yang lain. Bagaimana pentingnya media massa ini juga telah turut mengilhami umat Muslim untuk mendirika stasiun televisi maupun radio, memiliki penerbitan dan percetakan. Hal ini terlihat dengan mulai munculnya stasiun televisi maupun radio yang Islam oriented. Pada umumnya ini didirikan oleh lembaga-lembaga pendidikan.

Demikianlah karakteristik masyarakat postmodern, sebagaimana dinyatakan Jalaluddin Rahmat bahwa masyarakan yang akan datang adalah masyarakat yang ditandai dengan dominasi teknologi komunikasi. Sebagaimana alam pada zaman pertanian, modal pada zaman industri, maka informasi adalah kekayaan dan kekuasaan pada zaman pascamoderndalam masyarakat.[12]

 

3) Dalam bidang Arsitektur

Dinyatakan oleh Andy Siswanto, bahwa kecenderungan arsitektur postmodernisme adalah bersifat naratif, simbolisme dan fantasi. Masa lalu bisa ditulis kembali sebagai fiksi. Ide regionalisme berkembang pada zaman postmodernisme, terlebih di dunia ketiga seperti Indonesia. Konsep ini sering diromantisir dan dipolitisir dalam semangat nasionalisme. Bahkan bisa dipadukan dalam kerangka “eksotisme atau orientalisme”. Pandangan ide ini adalah bahwa arsitektur tradisional, baik yang adiluhung maupun yang merakyat dipercaya mampu merepresentasikan sosok arsitektur yang sudah terbukti ideal: sebuah harmoni yang lengkap dari “bentuk jadi, budaya, tempat dan iklim”. Oleh karenanya, misi gerakan ini adalah mengembalikan kelangsungan rangkaian arsitektur masa kini dengan kekhasan arsitektur masa lampau yang ada pada suatu wilayah budaya tertentu dengan mencoba mengimbangi perusakan budaya setempat oleh kombinasi kekuatan sistem produksi baik rasionalisasi, birokrasi, pengembangan skala besar maupun oleh gaya internasional.[13]

 

4) Dalam bidang Seni Islam

Tradisi yang secara sadar mengikat spritualitas dengan seni terus berjalan di kalangan muslim. Seni bertindak sebagai jembatan yang membawa inspirasi, trend, gaya dan ide-ide di antara kultur Islam. Selama beberapa periode di negara-negara muslim seni dihambat dan sulit mencari pelindung. Karena itu, ekspresi seni di  negara MuslIm diaprisiasi secara steril. Bakat-bakat seni muslim kontemporer telah menemukan ekspresinya. Salah satu buktinya bayaknya seni film yang disutradari oleh seniman muslim, antara lain kontribusi muslim dalam sinema India yang memiliki industri perfilman terbesar di dunia.[14]

 

IV. Tokoh Postmodernisme Dalam Islam

 

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Post-modernisme merupakan antitesa dari era modernisme yang mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya kekuatan rasionalitas manusia.

2. Menurut Amin Abdullah, ciri-ciri Postmodernisme terbagi pada dua hal, Postmodernisme sebagai mode pemikiran dan periode kesejarahan.

3. Menurut Akbar.S.Ahmed, Postmodernisme dalam dunia islam mempunyai arti peralihan menuju identitas Islam yang sejati yang bertentangan dengan identitas Barat.

4. Postmodernisme telah memasuki aspek-aspek peradaban dalam Islam, di antarnya dalam bidang pendidikan, tekhnolofi dan informasi, arsitektur dan seni Islam.

 

B. Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Ahmed, Akbar S., Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam terj. M. Sirozi, Bandung: Mizan, 1993

 

 


[2] Dikutip dari  internet. http ://aryaverdimandhani.blogspot.com.rabu.12:43 Pm.

[3] http ://aryaverdimandhani.blogspot.com. rabu.12:45 Pm.

[4] Lihat makalah Dr. Agussalim Sitompul, “Sejarah dan Peradapan Islam”, hal. 5

[5] Abdullah, Amin, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 96.

[6] Ibid, hal. 99-101.

[7] Ahmed, S , Akbar, Postmodernisme Bahaya Dan Harapan Bagi Islam,(Bandung:Mizan 1994), hlm 26-42.

[8] Akbar S. Ahmed, Postmodernisme…, hlm. 46.

[9] Ibid., hlm. 47

[10] Sihabuddin, “Postmodernisme dalam Islam dan Respon Masyarakat Muslim”,  AKADEMIKA, Vol. 10. No.2. Maret 2002., hlm. 50-51

[11] Arifin,  Syamsul, et.all., Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: SIPRESS, 1996), hlm.152-153

[12] Rahmat , Jalaluddin, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1998), hlm.67

[13] Siswanto, Andy, Menyangkal Totalitas dan Fungsionalisme; Postmodernisme dalam Arsitektur dan Desain Kota, KALAM Jurnal Kebudayaan, Edisi 1, 1994., hlm.36-37

[14] Ibid., hlm. 210

Zuhud dan Wara’ dalam al-Qur’an

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.      Latar Belakang Masalah

 

Tasawuf merupakan salah satu aspek Islam, sebagai perwujudan dari ihsan, yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhan-Nya.

Dalam dunia tasawuf, seseorang yang ingin bertemu dengan-Nya, harus melakukan perjalanan dan menghilangkan sesuatu yang menghalangi antara dirinya dengan Tuhan-Nya, yaitu dunia materi. Dalam tasawuf sikap ini disebut zuhud.

Zuhud dalam tasawuf menempati posisi sebagai maqam. Dalam posisi ini ia berarti hilangnya kehendak, kecuali berkehendak untuk bertemu dengan Tuhan. Dunia dianggap penghalang (hijab) bertemunya seseorang dengan Tuhan dan karena itu ia dianggap sesuatu yang berlawanan arah dengan-Nya. Dalam kaitan ini zuhud bersifat doktrinal dan a historis.

Zuhud yang dilakukan oleh Hasan al-Basri, Rabi’ah al-‘Adawiyah, Ibrahim bin Adham, al-Ghazali, Abd al-Qadir al-Jailani, Ibn ‘Atha ‘Illah al-Sakandari, dan al-Haddad pada saat tertentu bisa diartikan sebagai maqam, bahwa seseorang tidak boleh merancang masa depannya, dan harus menjauhi dunia, sebab dunia bisa menutupi hati. Inti zuhud ialah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia. Ia bagaikan bangkai. Seseorang boleh memilikinya sekedar untuk mencapai kebaikan dan untuk beribadah kepada Allah SWT.

Namun di sisi lain terdapat fenomena yang menarik pula bahwa zuhud secara umum bisa diartikan sebagai moral (akhlak) Islam, yaitu sikap yang harus dimiliki oleh seluruh umat Islam dalam menghadapi dunia materi ini, yaitu sikap tidak tertarik dan sikap tidak memiliki sesuatu.

Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah, tawakkal, wara’, sabar, syukur, dan sifat positif lainnya. Lalu bagaimana mengaplikasikan zuhud pada masa kini? Olek karena itu, dengan makalah sederhana ini kami akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut.

  1. B.       Rumusan Masalah
  2. Apa pengertian zuhud beserta dalil yang berdasarkan al-qur’an dan hadis?
  3. Apa pengertian wara’ beserta dalil yang berdasarkan al-qur’an dan hadis?
  4. Bagaimana tingkatan-tingkatan yang terdapat dalam zuhud?
  5. Bagaimana peran dan aplikasi zuhud dalam era modern?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Pengertian Zuhud

Secara etimologis zuhud berarti رغب عن شيئ و تركه  artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunyaa berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zahid, zuhhad atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan, artinya kecil atau sedikit. [1]

Sedangkan zuhud jika ditinjau dari segi terminologis ternyata memiliki pengertian yang berbeda-beda. Salah satunya adalah di kalangan ahli  tasawuf yang memberikan banyak pengertian, di antaranya :

  1. Benci kepada dunia dan berpaling padanya
  2. Membuang kesenangan dunia untuk mencapai kesenangan akhirat
  3. Hati tidak memperdulikan kekosongan tangan
  4. Membelanjakan apa yang dimiliki dan tidak menghargai apa yang didapat
  5. Tidak menyesal atas apa yang tidak ada dan tidak gembira tentang apa yang ada

Menurut Amin Syukur dalam karyanya Zuhud di abad Modern, beliau berpendapat bahwa zuhud secara terminologi tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud seagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Makna pertama, apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasiun (maqam) menuju tercapainya perjumpaan atau ma`rifat kada-Nya. Dalam kaitan ini `Abd al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud adalah :

اي بمعن الانصراف عن الدنيا والا قبال على العبدة ورياضة النفس وتهذيبها ومحاربة رغباتها بالخلوة والسياحة والصوم وقلة الطعام وكثيرة الذكر ….

Artinya : “Berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah. Melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak dizikir”.

Makna kedua, zuhud dipahami sebagai sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim dalam menatap dunia fana` ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah untuk meraih keridhaan Allah SWT bukan untuk tujuan hidup. Zuhud adalah hilangnya ketergantungan hati terhadap harta, bukan berarti sepi dari harta. Di sini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu al-Wafa al-Tafzani, zuhud ini bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan dunia itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhan.[2]

Menurut Imam al-Ghazali hakikat zuhud ialah berpaling dari sesuatu yang di benci kepada sesuatu yang lebih baik, benci dunia, mencintai akhirat, atau berpaling dari selain Allah kepada allah semata.

Firman Allah surat al-Imran ayat 152 :

Nà6YÏB `¨B ߉ƒÌãƒ $u‹÷R‘‰9$# Nà6YÏBur `¨B ߉ƒÌãƒ notÅzFy$# 4

Artinya : “Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”.

Dalam ayat di atas, Imam Ghazali menjelaskan,

Ketauhilah bahwa zuhud itu tidaklah meninggalkan harta dan mencurahkannya untuk jalan kemurahan hati, berkasih sayang dan menurut jalan kecenderungan hati dan serta atas jalan kerakusan. Semua itu da antara adat kebiasaan yang baik. Namun tidak ada tempat satu pun dalam ibadah. Sesungguhnya zuhud itu bilamana engkau meninggalkan dunia, sebab engkau mengerti kehinaan dunia itu dengan disandarkan pada keindahan akhirat.[3]

Dalam hadis riwayat Ibnu Majah, dari hadis Sahal bin Sa`ad, Nabi SAW bersabda :

ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ[4]

Artinya : “Zuhudlah dunia niscaya kamu akan dicintai Allah. Dan zuhudlah apa yang ada di tangan manusia niscaya kamu akan dicintai oleh manusia dan lainnya.

 

  1. B.     Pengertian Wara’

Wara secara bahasa berasal dari kata : وَرِعَ , يَرِع   diambil dari kata ( ورع )  yang berarti “menahan” atau “tergenggam”. Sedangkan secara istilah wara’mengandung pengertian menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan madharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat. Orang yang wara disebut wari’un wa mutawari’un.

Pendapat para ulama mengenai wara’.

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan wara’. Menurut Ibnu Waris wara’ berarti menjaga diri, yaitu menjaga diri dari hal-hal yang tidak layak untuk dilakukan. Ibnu Manzur berpendapat bahwa kata الوَرَع  dengan ra yang difathah berarti risih, jikaالوَرِع  dengan ra yang dikasrah maka diartikan sebagai orang yang khawatir, dan melindungi diri serta merasa risih.

            Menurut Ibrahim bin Adhm wara’ adalah meninggalkan perkara yang samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu dan meninggalkan hawa nafsu serta meninggalkan segala kejelekan. Sedangkan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa wara’ adalah “menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara yang haram dan samar, karena semuanya itu dapat memadharatkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara yang samar maka dia telah menyelamatkan kehormatannya dan agamanya. Siapa yang terjerumus dalam perkara samar, atau haram, sebagaimana penggembala yang menggembala di sekitar pagar, tak ayal dia akan masuk ke dalamnya.”

Ibnul Qoyyim berkata bahwa Nabi SAW telah merangkum pengertian wara’ dalam satu kalimat di sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi yaitu :

  مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

Atinya : “Dari baiknya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang bukan urusanya(dikuasainya).”(HR. at-Turmudzi).[5]

Yang dimaksud dengan ‘meninggalkan apa yang bukan urusannya’ yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak menjadi urusannya baik dalam hal pembicaraan, pandangan, pendengaran dan tindakan serta seluruh aktivitas lahir maupun batin.

Menurut Syaikh Muhammad bin Soleh al-Utsaimin, orang yang wara adalah orang yang mendapati perkara samar, kemudian ia meninggalkannya meskipun dari sisi hukum keharamannya masih diperselisihkan. Sedangkan jika samar dalam wajibnya suatu perkara, dia mengerjakannya agar tidak berdosa jika meninggalkannya.

Mengenai pengertian wara’ ini di al-Qur’an tidak disebutkan definisinya secara jelas. Akan tetapi ada beberapa ayat yang secara tidak langsung menyebutkan ciri-ciri wara’ berdasarkan dengan kandungan maknanya. Ayat-ayat tersebut di antaranya yaitu, QS al-Muddastir : 4

y7t/$u‹ÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ  

Artinya : “ dan pakaianmu bersihkanlah”.

Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini yaitu janganlah mengenakan pakaian  untuk perbuatan maksiat. 

Menurut penafsiran Ibnu Sirrin dan Ibnu Zaid maksud dari ayat tersebut adalah perintah untuk menjaga pakaian dari najis yang dapat menyebabkan sholat kita tidak sah, sebab orang-orang musyrik zaman dahulu tidak pernah menjaga kesucian badan dan pakaian mereka.

Adapun pengertian wara’ menurut Nabi SAW, yaitu terdapat dalam beberapa hadis di antaranya :

 (( دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يَرِيْبُكَ ))

Artinya : “Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukan.”[6]

Maksud dari sesuatu yang meragukan dalam hadis ini adalah yang membuat hati tidak tenang dan memunculkan rasa khawatir, jika ternyata hal itu tidak boleh dilakukan. Jika kita menghadapi kondisi demikian maka tinggalkanlah yang meragukan tersebut dan lakukanlah sesuatu yang meyakinkan atau yang membuat tenang. Adalah perbuatan tercela jika ada keraguan namun tetap dikerjakan.[7]

Dan dari Wabishah bin Ma’bad ra. dia berkata : Aku datang kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan?” Aku berkata,” Ya.” Beliau bersabda, “Bertanyalah kepada hatimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan tenang jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun orang-orang terus membenarkanmu.” [8]

Dalam hadis lain Nabi  bersabda :

(( فَضْلُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَضْلِ الْعِبَادَةِ, وَخَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ ))

Artinya : “Keutamaan ilmu lebih baik dibandingkan keutamaan ibadah. Dan kebaikan agamamu adalah wara.” [9]

  1. C.    Zuhud di Era Modern

Islam diturunkan sebagai rahmatan li al-‘alamin, diturunkan dalam konteks zamannya untuk memecahkan problema kemasyarakatan pada masa itu. Konteks dan latar belakang perjuangan Rasulullah SAW dalam situasi dan kondisi Arab Quraisy waktu itu. Pada masa sekarang harus dipahami dalam konteksnya yang tepat, yaitu pemahaman yang mondar-mandir, memasukkan konteks kekinian ke masa diturunkan al-Qur’an, dan kembali lagi ke masa kini. Pemahaman ini akan menjamin aktualisasi dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman sepanjang sejarah.

Setelah problema keumatan berkembang, maka sebagai tuntutan kultural dan historis, muncullah mazhab dalam berbagai bidang, seperti politik, ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf, yang selanjutnya menampilkan diri sebagai disiplin ilmu keislaman. Berbagai rumusan mazhab itu tidak bisa terlepas dari konteks zamannya, dan untuk memecahkan problema yang dihadapi umat Islam pada waktu itu.

Tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman tidak bisa keluar dari kerangka itu. Rumusan ajaran tasawuf klasik, khususnya yang menyangkut konsep zuhud sebagai maqam yang diartikan sebagai sikap menjauhi dunia dan isolasi terhadap keramaian duniawi, karena semata-mata ingin bertemu dan ma’rifat kepada Allah SWT, sebagaimana dirumuskan oleh ulama terdahulu misalnya oleh Hasan Basri. Di sisi lain hal tersebut bisa diberi makna bahwa situasi dan kondisi pada waktu itu menghendaki demikian, yakni sebagai reaksi terhadap sistem sosial, politik, dan ekonomi.

Ketika Islam telah tersebar ke mana-mana, tentunya membawa konsekuensi tersendiri, seperti lahirnya kemakmuran negara Islam, di satu pihak, dan pertikaian politik intern umat Islam, di pihak yang lain, sehingga menimbulkan perang saudara yang berawal dari alfitnah alkubra, serta perilaku semena-mena elite politik pada masa itu.

Melihat keadaan demikian ada sebagian umat Islam, khususnya ulamanya yang menjauhkan diri dari keramaian dunia (‘uzlah), lari ke gua-gua dan ke gunung-gunung agar tidak terlibat hal-hal tersebut. Gerakan ini bisa bermakna etis, yakni gerakan memprotes situasi dan kondisi sosial politik dan ekonomi waktu itu. Dan konsep zuhud menjadi sangat ekstrim setelah mengalami perkembangan lebih lanjut, yakni tasawuf dalam bentuk thariqah.

Selanjutnya bagaimana zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap dunia di masa modern seperti ini. Untuk mengungkap hal ini, maka perlu melihat bagaimana sebenarnya masyarakat modern itu.

‘Ata’ Muzhar, menyatakan bahwa masyarakat modern ditandai oleh lima hal, yakni: Pertama, berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan mass media sehingga kultur tidak lagi bersifat lokal, melainkan nasional atau bahkan global. Kedua, tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan bertindak manusia menuju perubahan masa depan. Dengan demikian alam dapat ditaklukkan, manusia merasa lebih leluasa kalau bukan merasa lebih berkuasa. Ketiga, tumbuhnya berpikir rasional, sebagian besar kehidupan ummat manusia ini semakin diatur oleh aturan-aturan rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup yang materialistik, artinya semua hal diukur oleh nilai kebendaan dan ekonomi. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi.

Masyarakat modern ialah masyarakat yang cenderung menjadi sekuler. Hubungan antara anggota masyarakat tidak lagi atas dasar atau prinsip tradisi atau persaudaraan, tetapi pada prinsip-prinsip fungisional pragmatis. Masyarakatnya merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis, ciri-cirinya yang lain adalah penghilangan nilai-nilai sakral terhadap dunia, meletakkan hidup manusia dalam konteks kenyataan sejarah, dan penisbian nilai-nilai.

Masyarakat modern yang mempunyai ciri tersebut, ternyata menyimpan problema hidup yang sulit dipecahkan. Rasionalisme, sekularisme, materialisme, dan lain sebagainya ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya, akan tetapi sebaliknya, menimbulkan kegelisahan hidup ini.

Sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi, kadang-kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya, meluncur bagaikan binatang, bahkan lebih hina daripadanya. Ini adalah akibat dari adanya mass culture tersebut. Berbagai perilaku amoral sering dilaporkan melalui media massa.

Memang diakui bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Agar posisi seseorang dapat terbalik, yakni hawa nafsunya dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam melawan hawa nafsunya jadi. Dengan jalan ini diharapkan seseorang mendapatkan jalan yang diridhai Allah SWT.

Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap ini. Antara lain sifat attama’, yaitu sifat loba dan sifat alhirs, yaitu keinginan yang berlebih-lebihan terhadap materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku menyimpang seperti korupsi dan manipulasi.

Dalam tasawuf prinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan masa depan masyarakat, antara lain hendaknya selalu mengadakan introspeksi (muhsabah), berwawasan hidup moderat, tidak terjerat oleh nafsu rendah, sehingga lupa pada diri dan Tuhannya.

Dalam menempuh jenjang kesempurnaan rohani, dikenal tehapan : takhalli, tahalli, dan tajalli. Dalam takhalli terdapat ciri moralitas Islam, yakni menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela, baik secara vertikal maupun horisontal, misalnya attama’, alhirs, alhasad, takabur, dan sebagainya. Tahalli merupakan pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam Islam, misalnya zuhud, yang oleh sebagai ulama sufi sebagai awal kehidupan tasawuf.

Zuhud sebagai sikap sederhana dalam kehidupan berdasarkan motif agama, akan bisa menanggulangi sifat attama’ dan sifat alhirs. Imam Ahmad ibn Hanbal menyebutkan ada tiga tahap zuhud :

Pertama, zuhud dalam arti meninggalkan yang haram, ini adalah zuhudnya orang awam. Jika seorang yang berzuhud kepada dunia, tapi orang ini menyukai dunia, hatinya cenderung kepada dunia. Ini adalah tingkatan zuhud yang standar.[10]

Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara yang halal, ini adalah zuhudnya orang khawas (istimewa).ketika seseorang yang meninggalkan dunia dengan ringan, gampang sekali meninggalkan urusan dunia, karena dianggapnya hina dan dihubungkannya kepada apa yang diinginkan. Tak ada artinya dunia ini jika dibandingkan dengan kemulian akhirat.

Ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah SWT, ini adalah zuhudnya orang ‘arif (orang yang telah mengenal Tuhan).Seorang yang berzuhud dengan ringan, tanpa beban, dia berzuhud dengan kezuhudannya. Inilah tingkatan yang paling tinggi.

  1. D.    Tingkatan Zuhud yang Dihubungkan dengan Hal yang Disukai:

Tingkatan paling rendah, zuhudnya karena takut akan siksaan.

Tingkatan menengah, zuhudnya karena mengharapkan pahala. Ia lupakan neraka, tapi ia memohon surga. Maka ia melakukan perbuatan baik karena diiming-imingi oleh surga.

Tingkatan tertinggi, zuhudnya karena suka kepada Allah, bukan takut neraka, bukan ingin surga. Dia takut, dan dia mencintai Tuhannya. Berharap bertemu dengan Allah, hatinya tidak peduli lagi dengan kenikmatan-kenikmatan dan azab. Inilah zuhudnya orang-orang yang mencintai Allah. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang ma’rifah.

Berpegang kepada definisi ini, akan dapat dijabarkan beberapa nilai derifatif darinya yang kondusif untuk usaha-usaha menghilangkan dedikasi moral yang berkaitan dengan sikap kefoya-foyaan. Meninggalkan hal-hal yang haram menuntut orang mencari kekayaan serta tulus lewat kerja keras, dan profesional. Meninggalkan suap, manipulasi, korupsi, menindas yang lain, dan lain sebagainya.

Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki), tawakkal (pasrah diri kepada Allah SWT), wara’ atau wara’i, yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar, yakni tabah menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya.

Yang perlu diketahui bahwa sifat-sifat itu merupakan bekal menghadapi kenyataan hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif, seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, eksklusif dan menarik diri dari keramaian dunia, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah, yakni membawa fungsi kekhalifahan, yang berarti sebagai pengganti Tuhan, pengelola, pemakmur, dan yang meramaikan dunia ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sikap batin dalam menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjadikan dirinya lebih baik dari keadaannya sekarang.

Setelah seseorang telah mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka sudah barang tentu hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang, yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya nur ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan yang demikian ini, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang batal dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan mata hati, dengan rasa.

Tajalli sebagai kristalisasi nilai-nilai religio moral dalam diri manusia yang berarti melembagakannya nilai-nilai ilahiyah yang selanjutnya akan direfleksikan dalam setiap gerak dan aktivitasnya. Pada tingkatan ini seseorang telah mencapai tingkat kesempurnaan (insan kamil). Dia dapat merealisasikan segala kemungkinan yang dapat dicapai oleh makhluk manusia yang membawa potensi keilahian.

Capaian terakhir ini merupakan puncak kebahagiaan seorang sufi. Orang seperti ini akan mencapai tuma’ninah alqalb, ketenangan hati yang merupakan pangkal kebahagiaan baik bahagia di dunia maupun di akhirat. Orang yang demikian ini hidupnya penuh dengan optimisme, tidak mungkin tergoda oleh situasi dan kondisi yang melingkupinya, bisa menguasai diri dan menyesuaikan diri di tengah-tengah deru modernisasi dan industrialisasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PENUTUP

Kesimpulan

Zuhud dipahami sebagai sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh seorang Muslim dalam menatap dunia fana` ini. Dunia dipandang sebagai sarana ibadah untuk meraih keridhaan Allah SWT bukan untuk tujuan hidup. Zuhud adalah hilangnya ketergantungan hati terhadap harta, bukan berarti sepi dari harta. Di sini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya.

Tingkatan zuhud ada tiga:Pertama, zuhud dalam arti meninggalkan yang haram, ini adalah zuhudnya orang awam. Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan dalam perkara yang halal, ini adalah zuhudnya orang khawas (istimewa). Ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah SWT, ini adalah zuhudnya orang ‘arif (orang yang telah mengenal Tuhan).

Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam diri sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki), tawakkal (pasrah diri kepada Allah SWT), wara’ atau wara’i, yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar, yakni tabah menerima keadaan dirinya, baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya

Wara’ adalah meninggalkan perkara yang samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu dan meninggalkan hawa nafsu serta meninggalkan segala kejelekan. Sungguh siapa yang menghindari perkara yang samar maka dia telah menyelamatkan kehormatanya dan agamanya. Siapa yang terjerumus dalam perkara samar, atau haram, sebagaimana penggembala yang menggembala di sekitar pagar, tak ayal dia akan masuk ke dalamnya.”

 

 


[1] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 1.

[2] M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 3.

 

 

[4] Kitab sunan Ibnu Majah, bab  في الدنيا الزهد , juz 12, halaman 124

[5] Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Turmudzi, Ibnu Majah.

[6] Hadis riwayat At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Menurut Tirmidzi hadis ini hasan sahih.

[7] Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi – Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh – http://muslim.or.id

[8]  Hadits hasan yang kami riwayatkan dari Musnad Imam Ahmad bin Hambal dan Musnad Imam Ad-Darimi dengan sanad hasan

[9] Mundziri -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Hadits ini sebagaimana yang terdapat dalam Sahih at-Targhib wa at-Tarhib I/103, diriwayatkan oleh at-Thabaroni di dalam kitab al-Ausaath dan al-Bazzar dengan sanad yang hasan.” Telah disahihkan oleh Syaikh al-Albani -semoga Allah merahmatinya- di dalam kitabnya Sahih al-Jami’ no.4214.

[10] Ahmad.2009.Zuhud dalam era modern.Jakarta:Gema Insani Press

iman kepada qadha dan qadar

pengetahuan tafsir dan hadits

PENDAHULUAN

 

  1. A.      Latar Belakang

Agama Islam terdiri dari enam rukun iman. Yang mana keenam rukun iman tersebut wajib kita imani untuk sempurna iman kita sebagai hamba Allah SWT dan ummat Rasulullah. Namun, ada beraneka ragam pemahaman masalah keimanan tentang rukun iman. Dalam makalah ini kami fokus ke pembahasan tentang keimanan terhadap qadha dan qadar dengan melihat dari pandangan dari beberapa kalangan dan kelompok Islam.

Persoalan Qadha dan Qadar tidak habis-habisnya di bicarakan orang hingga sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam soal tersebut terutama karena adanya beberapa ayat Al Qur’an yang pengertian lahirnya saling bertentangan di suatu pihak, beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu.

 

  1. B.       Rumusan Masalah
    1. Apa Pengertian qadha dan qadar ?
    2. Bagaimana beriman kepada qadha dan qadar ?
    3. Bagaimana pandangan beberapa firqah Islam tentang qadha dan qadar ?
    4. Apa urgensi…

View original post 1,571 more words

Hadis tentang Sifat Tercela

  1. A.    TEKS HADIS DAN TERJEMAHNYA

 

وعن ابي هريرة رضي الله عنه: ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قا:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَافَسُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهَ إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمْ، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَهُنَا، التَّقْوَى ههُنَا -يُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَعِرْضُهُ وَمَالُهُ، إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

وفى رواية: (,  ولا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تجسسوا ولا تحسسوا ولا تناجشوا و وكونوا عبادالله اخوانا)

 

Artinya 

Dari Abu Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda; “Jauhilah olehmu prasangka karena sesungguhnya itu adalah perkataan yang paling dusta. Janganlah suka mendengarkan permbicaraan (orang yang tidak suka didengarkan), janganlah suka mencari-cari aib orang lain, dan janganlah saling bersaing (dalam masalah dunia). Janganlah pula saling mendengki, dan janganlah saling membenci, jangalah saling memusuhi, namun jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan kepada kalian. Muslim yang satu adalah saudara bagi muslim yang lainnya, tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh mengecewakannya, dan tidak boleh menghinanya. Takwa itu di sini, takwa itu di sini, “Beliau menunjuk ke dadanya.” Cukuplah seseorang dikatakan jahat apabila ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh kalian, dan tidak pula rupa kalian. Akan tetapi, Dia memandang hati dan amal kalian.” 

Dalam riwayat yang lain; “janganlah saling mendengki, janganlah saling membenci, dan janganlah sukak mencari-cari aib orang, janganlah suka mendengarkan pembicaraan orang (yang tidak suka didengar), dan janganlah saling menipu (dalam jual beli). Namun, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

 

  1. B.     MUFRADAT
    1. (Adz-Dzanna) : Prasangka, dugaan.Yaitu, pendapat (anggapan) yang kurang baik   mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri; syak: sebenarnya semuanya itu hanya berdasarkan dugaan , bukan kebenaran.
    2. (Akdabul-hadiitsi) : paling buruknya ucapan.).
    3. (Tajassasu) : Mencari-cari aib Orang Islam, memata-matai. Memata-matai berarti mengamat-amati dengan cara diam-diam.
    4. (La) : Janganlah. Adalah kata keterangan yang menyatakan melarang, berarti tidak boleh, tidak usah.
    5. (Tabaaghadhuu) : dan janganlah saling membenci (antara yang satu dengan yang lainnya).  Membenci berarti merasa tidak suka, tidak menyenangi.
    6. (Wa kuunu) :  dan jadilah (kalian). Yang berarti menjadi sebagai, membuat sebagai, merupakan.
    7. (Ikhwaana) : Saudara.
  1. C.    ASBABUL WURUD

Asbabul wurud hadis diatas yaitu, pada suatu ketika seorang pemuda yang bernama Yahya Ibnu Bukair menceritakan dari sahabat Laits dari Ja’far Ibnu Rabi’ah dari A’raj bahwa Abu Hurairah suatu saat bersama Rasulullah SAW dan berliau berkata kepadanya dan kepada para sahabat lainnya. Yaitu, mengenai larangan berprasangka buruk. “Jauhilah olehmu prasangka karena sesungguhnya itu adalah perkataan yang paling dusta.

Janganlah suka mendengarkan permbicaraan (orang yang tidak suka didengarkan), janganlah suka mencari-cari aib orang lain, dan janganlah saling bersaing (dalam masalah dunia). Janganlah pula saling mendengki, dan janganlah saling membenci, jangalah saling memusuhi, namun jadilah kalian hamba-hamba Allah yang saling bersaudara sebagaimana yang Dia perintahkan kepada kalian. Muslim yang satu adalah saudara bagi muslim yang lainnya, tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh mengecewakannya, dan tidak boleh menghinanya.

Takwa itu di sini, takwa itu di sini, “Beliau menunjuk ke dadanya.” Cukuplah seseorang dikatakan jahat apabila ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya adalah haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya. Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh kalian, dan tidak pula rupa kalian. Akan tetapi, Dia memandang hati dan amal kalian.”

  1. D.    SYARAH HADIS

Secara umum hadits ini mengandung beberapa bentuk pelarangan, dan perinntah diantaranya yaitu:

1)   Waspadalah terhadap prasanka, seperti menduga orang dengan perbuatan keji, tanpa tanda atau bekas perbuatan itu. Kita dilarang mengikuti prasangka terhadap orang lain tanpa ada bukti yang jelas. Karena, berprasangka adalah akdzabul hadziitsi, kebohongan sering terjadi pada prasangka seseorang dibandingkan dengan kebohongan yang terjadi pada pembicaraan. Bahkan, Allah Swt akan menutup aib seseorang, mengampuni dosanya, bagi mereka yang menutupi dan merahasiakan aib-aib saudaranya.

Salah-satu bentuk prasangka yang dapat kita lihat dari kejadian sehari-hari adalah seperti membicarakan sesuatu yang berasal dari orang lain, atau membicarakan orang lain tersebut kemudian ditambah-tambahkan dengan seenaknya sendiri. Memberitakan hal-hal yang tidak menyenangi saudaranya, yang justru melukai hatinya.

 Berburuk sangka kepada orang lain, sama halnya membangun benih perasaan negatif. Dan itu adalah awal mula dari kebencian, keraguan, ketidakpercayaan, ketidaksenangan, ketidakharmonisan.

2) Janganlah membuntuti orang lain, mengorek seluk beluk cacat atau aib orang lain dengan cara apapun. Ibnu Wahab mengatakan “ janganlah kalian mencari aib orang nlain dan janganlah pula menguping, mendengarkan pembicaraan seseorang yang membicarakan orang lain”.

3)   Janganlah saling mendengki, yaitu menginginkan hilangnya kenikmatan orang lain, baik dengan atau tanpa upaya untuk menghilangkan.

4)   Janganlah saling membenci, yaitu tidak melakukan sesuatu yang menyebabkan kebencian karena kebencian tidak berdiri sendiri tanpa penyebab.

5)   Janganlah saling membelakangi, ialah saling menjauhi, saling memusuhi atau bermakna berpaling, dan saling mengabaikan, tidak mengindahkannya, dan tidak mendengarkannya. Tadabbur dilarang  karena ini merupakan lawan dari ukhuwwah imaniyyah.

6)    Perintah persaudaraan, Kaum mukminin harus saling mencintai dan menyayangi, tidak boleh saling membenci dan memusuhi. Mereka semua berusaha untuk kemaslahatan mereka secara umum yang menjadi pilar agama dan dunia mereka. “Setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.” Karena sesuatu yang menyatukan keduanya, yaitu Islam, ini adalah penghubung paling kuat di antara kaum muslimin. “Ia tidak boleh menzhaliminya.” Yakni, tidak melampui batas terhadapnya.

“Ia tidak boleh membiarkannya (tanpa memberikan pertolongan).” Di tempat di mana ia wajib menolongnya.

“Tidak mendustakannya.” Yakni, tidak mengabarkan kepadanya dengan berita dusta.

“Tidak memperhinakannya.” Yakni, tidak meremehkannya.

  1. E.     KONTEKSTUALISASI

Dengan kondisi zaman seperti saat ini kemungkinan untuk melakukan sifat – sifat tercela tersebut sangatlah besar. Apalagi saat ini komunikasi manusia tidak hanya lewat pertemuan – pertemuan saja akan teteapi dengan adanya media mereka sudah bisa melihat dunia luar meskipun mereka hanya duduk diam dirumah.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa seorang muslim harus menjauhi sifat – sifat yang tercela, karena sifat tercela tersebut dapat menimbulkan perpecahan diantara kaum muslimin sendiri. Selain itu sifat tercela juga merupakan penyakit hati yang harus dihindari, jika seseorang telah banyak memiliki sifat tercela dalam dirinya maka dia harus secepatnya mengobati dengan banyak beribadah kepada Alla SWT. Sebaliknya kaum muslimin haruslah menganggap yang lain sebagai saudara saudaranya sendiri. Saling menjaga dan melindungi dalam segala hal kebaikan.

Sebagai mana juga pernah dikatakan bahwa iman seseorang tidaklah dikatakan sempurna sebelum ia mencintai saudara-saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kecintaan itu bisa dilihat dari prasangka baiknya kepada orang lain. Kecenderungan seseorang berprasangka baik terhadap diri sendiri harus dibalikkan kepada orang lain. Dengan begitu, permusuhan, kesalingmenjatuhkan, iri, dengki tidak akan bersarang di dalam diri setiap insan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Al – Mansor, S. Ansory. Jalan Kebahagiaan Yang Diridhai. Jakarta : PT Raja Grafindo

Pustaka. 1997.

Al – Ghazali, abu hamid muhammad. Menjelang Hidayah: Mukadimmah Ihya Ulumuddin

terj. As’ad el hafidy. Bandung : Mizan. 1998.

Al- asqolany, ibnu hajar. Terjemah Bulughul Maram terj. badru salam. Bogor : pustaka ulil

albab. 2006.
http:// prasangka-dalam-perspektif-psikologi.html. 22 Nov 2012.

http://  hindari-buruk-sangka.html. 22 Nov 2012